Langsung ke konten utama

Tasawuf Amali


BAB I
PENDAHULUAN
Hasrat untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah tujuan utama dari sufi dan merupakan keinginan yang manusiawi. Sejalan dengan semakin berkembangnya tasawuf, maka orang yang ingin mendekatkan diri kepada Tuhan smakin banyak pula.
Tinjauan analitis terhadap tasawuf menunjukkan bahwa para sufi dengan berbagai aliran yang dianutnya memiliki konsepsi tentang jalan (thariqat) menuju Allah. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniyah (riyadhah), lalu secara bertahap menempuh fase yang dikenal dengan maqam (tingkatan) dan hal (keadaan). Tingkat pengenalan ma’rifat adalah jargon yang pada umumnya dikejar oleh para sufi. Lingkup perjalanan para sufi untuk memperoleh ma’rifat ini sering juga disebut kerangka ‘Irfani.
Rumusan masalah.
a.       Apa itu Tasawuf Amali?
b.      Apa saja istilah-istilah yang terdapat dalam tasawus amali?
c.       Bagaimana tingkatan dan keadaan para sufi?
d.      Siapa saja tokoh tasawuf amali ?








BAB II
PEMBAHASAN
TASAWUF AMALI
A.    Pengertian.
Tasawuf amali adalah tasawuf yang penekanannya pada amaliah berupa wirid dan amaliah lainnya. Tasawuf amali atau hadah, menghapuskan sifat-sifat yang tercela, melintasi semua hambatan itu, dan menghadap total dari segenap esensi diri hanya kepada Alla SWT. Di dalamnya terdapat kaedah-kaedah suluk (perjalanan tarbiyah ruhaniyah), macam-macam etika (adab) secara terperinci, seperti hubungan antara murid dengan shaykh, uzlah dengan khalwah, tidak banyak makan, mengoptimalkan waktu malam, diam, memeperbanyak zikir, dan semua yang berkaitan dengan kaedah-kedah suluk dan adab.[1]
  Pada hakikatnya metode kaum shufi ini hanyalah sebuah lanjutan atau pengembangan dari tasawuf sunni. Dinamakan tasawuf amali karena sisi amal di dalamnya lebih dominan dari sisi teori.
B.     Istilah-istilah dalam tasawuf amali.
Dilihat dari tingkatan dan komunitas itu, terdapat beberapa istilah sebagai berikut, yaitu :
a)      Menurut Al- Kalabazi dalam bukunya “At-Ta’arruf li al- Madzhab ahli ash-shaufiyah; menyatakan bahwa murid yaitu, orang yang mencari pengetahuan dan bimbingan dalam melaksanakan amal ibadahnya, dengan memusatkan segala perhatian dan usahanya kearah itu, melepas segala kemauannya dengan menggantungkan diri dan nasibnya kepada iradah Allah.
Murid dalam tasawuf ada tiga kelas, yaitu :
1.      Mubtadi atau Pemula, yaitu mereka yang baru mempelajari syari’at.
2.      Mutawassith, adalah tingkatan menengah yaitu, orang yang sudah dapat melewati kelas pemula, telah mempunyai pengetahuan yang cukup dengan syari’at.
3.      Muntahi, adalah tingkat atas atau orang yang telah matang ilmu syari’at sudah menjalani tarekat dan mendalami ilmu bathiniyah.
b)      Syekh yaitu, seorang pemimpin kelompok kerohanian, pengawas murid-murid dalam segala kehidupanny, penunjuk jalan dan sewaktu-waktu dianggap sebagai perantara antara seorang murid dengan Tuhannya.
c)      Wali dan Quthub , yaitu seseorang yang telah sampai kepuncak kesuucian bathin, memperoleh ilmu laduni yang tinggi sehingga tersingkap tabir rahasia yang gaib-gaib. Orang seperti ini akan memperoleh karunia dari Allah dan itulah yang disebut wali.[2]
Dilihat dari sudut amalan serta jenis ilmu yang dipelajari, maka terdapat beberapa istialah yang khas dalam dunia tasawuf, yaitu : ilmu-lahir dan ilmu-bathin. Oleh karena itu cara memahami dan mengamalkannya juga harus memiliki aspek lahir dan aspek batin. Kedua aspek yang terkandung dalam ilmu itu mereka bagi kepada empat kelompok, yaitu :
a)      Syari’at.
Syari’at mereka artikan sebagai amalan-amalan lahir yang difardukan dalam Agama, yang biasanya dikenal sebagai rukun Islam dan segala hal yang berhubungan dengan itu bersumber dari Al Quran dan Sunnah Rasul.
b)      Tarekat.
Dalam melakukan syari’at tersebut di atas, haruslah berdasarkan tata cara yang telah digariskan dalam Agama dan dilakukan hanya karena pengahambaan diri kepada Allah, karena kecintaan kepada Allah dan karena ingin berjumpa dengan-Nya.
c)      Hakikat.
Secara lughawi, hakikat berarti inti sesuatu, puncak atau sumber asal sesuatu. Dalam dunia sufi, hakikat diartikan sebagai aspek lain dari syari’at yang bersifat lahiriyah, yaitu aspek bathiniah. Dengan demikian dapat diartikan sebagai rahasia yang paling dalam dari segala amal, inti dari syari’at dan akhir dari perjalanan yang ditempuh oleh seorang sufi.
d)     Ma’rifah.
Dari segi bahasa, ma’rifah berarti pengetahuan atau pengalaman, sedangkan dalam istilah sufi, ma’rifah itu diartikan sebagai pengetahuan mengenai tuhan melalui hati sanubari.[3]
C.     Jalan mendekatakan diri kepada Allah.
1)      Al-Maqamat.
Untuk mencapai tujuan tasawuf, seorang mubtadi harus menempuh jalan yang panjang dan berat, melakukan berbagai macam usaha dan amal baik bersifat zahir maupun bathin. Hal itu dapat dilakukan dengan tahap-tahap tertentu atau yang biasa disebut maqam ( مقام ) .[4]
Menurut Ath- Thusi yang paling populer dikalangan sufi adalah 7 maqam, yaitu:
a)         At-Taubah /التوبة .
Menurut ahli sufi, yang menyebabkan manusia jauh dari Allah adalah karena dosa. Sebab dosa adalah sesuatu yang kotor, sedangkan Allah Maha Suci. Oleh karena itu, apabila seseorang ingin mendakatkan diri kepada Tuhan atau ingin “melihat” Tuhan, maka ia harus membersihkan dirinya dari segala macam dosa dengan jalan bertaubat dalam arti sebenarnya.
b)        Az-zuhud / الزهد.
Menurut pandangan ahli sufi, dunia dan segala kehidupan materinya adalah sumber kemaksiatan dan penyebab terjadinya perbuatan dosa.
Oleh karena itu, seorang mubtadi atau calon sufi harus lebih dahulu menjadi zahid (assatic). Tekanan utamanya adalah mengurangi keinginan terhadap kehidupan dunia, karena kehidupan dunia ini bersifat sementara dan apabila manusia tergoda oleh kehidupan dunia akan menjauhkan dirinya kepada Allah SWT.
c)         Al- Wara’ / الورع.
Wara’ adalah menghindari apa saja yang tidak baik. Orang sufi mengartikan wara’ itu, meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas persoalannya. Ibrahim bin Adham berpendapat, wara adalah meninggalkan segala yang masih diragukan dan meninggalkan kemewahan.
d)        Al- Farq / الفقر.
Pesan yang terkandung adalah agar manusia bersifat hati-hati terhadapa pengaruh negatif yang bisa diakibatkan oleh keinginan kepada harta kekayaan. Namun bagi sufi sendiri, mereka merasa tidak lebih baik tidak punya apa-apa, atau sudah merasa cukup dengan apa adanya, dari pada punya tapi menyiksa.
e)         Ash- Shabr / الصبر.
Shabar artinya konsekwen dan konsisten dalam melaksanakan semua perintah Allah. Berani menghadapi kesulitan dan tabah dalam menghadapi cobaan-cobaan selama perjuangan demi tercapainya tujuan.
Shabar merupakan perlengkapan primer, sukses tidaknya perjuangan tergantung kepada keshabaran. Orang yang berhasil membentuk dirinya sebagai manusia penyabar akan memperoleh status yang tinggi dan mulia, Firman Allah :
íN»n=y /ä3øn=tæ $yJÎ/ ÷Län÷Žy9|¹ 4 zN÷èÏYsù Ót<ø)ãã Í#¤$!$# ÇËÍÈ  
24. (sambil mengucapkan): keselamatan atasmu berkat kesabaranmu Maka Alangkah baiknya tempat kesudahan itu. (QS. Al-rad: 24).

f)         At-Tawakal / التو كل.
Secara umum pengertian tawakal adalah pasrah secara bulat kepada Allah setelah melaksanakan sesuatu rencana atau usaha. Firman Allah
(.. #sŒÎ*sù |MøBztã ö@©.uqtGsù n?tã «!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tû,Î#Ïj.uqtGßJø9$# ÇÊÎÒÈ  
159..kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS. Al-imran: 159).
Tawakal adalah gambaran keteguhan hati dalam menggantungkan diri hanya kepada Allah. Dalam hal ini, Al-Ghazali  mengaitkan tawakal dengan tauhid, dengan penekanan bahwa tauhid berfungsi sebagai landasan tawakal.[5]
g)        Ar-Ridha / الرضا.
Al- Junaidi mengartikan Ridha itu meninggalkan usaha (  ترك الاختيار ), sedangkan Dzu an-Nun al-Mishri mengatakan, Ridha itu ialah menerima qada dan qadar dengan kerelaan hati.
Menurut Abdul Halim Mahmud, ridha mendorong manusia untuk berusaha sekuat tenaga mencapai apa yang dicintai Allah dan Rasulnya. Namun, sebelum mencapainya, ia harus menerima dan merelakan akibatnya dengan cara apapun yang disukai Allah.[6]



2)      Al-Ahwal.
Menurut ahli sufi, al-Ahwal adalah situasi kejiwaan yang diperoleh seseorang sebagai kurnia Allah. Akan tetapi apabila diperhatikan isi dari apa yang disebut al-hal itu sebenarnya adalah merupakan manifestasi dari maqom yang mereka lalui. Dengan kata lain, bahwa kondisi mental yang diperoleh sufi itu adalah sebagai hasil dari amalan yang dilakukan.[7]
Hal-hal yang sering dijumpai dalam perjalanan sufi, yaitu:
a)         Al-Muraqabah dan Muhasabah.
Muraqabah atau mawas diri adalah meneliti dengan cermat apakah perbuatan sehari-hari telah sesuai atau malah menyimpang dari yang dikehendaki-Nya. Muhasabah atau waspada dapat diartikan menyakini bahwa Allah mengetahui segala pikiran, perbuatan dan rahasia dalam hati yang membuat seseorang menjadi hormat, takut dan tunduk kepada Allah.[8]
Menurut kalangan sufi mengandung pengertian, adanya kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah dalam keadaan diawasi. Artinya si makhluk senantiasa dalam keadaan waspada (muhasabah) bahwa ia dalam keadaan diawasi Khaliknya.[9]
b)        Mahabbah .
Dalam pandangan tasawuf mahabbah (cinta) merupakan pijakan dari segenap kemulian al-hal, seperti tobat yang menjadi dasar kemuliaan maqom. Karena mahabbah pada dasarnya adalah anugrah yang menjadi dasar pijakan bagi segenap hal, kaum sufi menyebutnya sebagai anugerah-anugerah (mawahib).
c)         Asy-Syauq.
Syauq atau rindu adalah kondisi kejiwaan yang menyertai mahabbah, yaitu rasa rindu (yearning) yang memancar dari qalbu karena gelora cinta yang murni. Pengetahuan dan pengenalan yang mendalam terhadapa Allah akan menimbulakan rasa senang dan gairah
d)        Al-Khauf.
Khauf menurut ahli sufi  berarti suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya. Takut dan khawatir kalau-kalau Allah tidak senang kepadanya.
e)         Ar-raja’.
Menurut kalangan sufi, Raja’ dapat berarti berharap atau optimis, yaitu perasaan senang hati karena menanti sesuatu yang diinginkan atau disenangi. Raja’ atau optimis ini telah ditegaskan dalam Al-Qur’an :
¨bÎ) šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä z`ƒÉ©9$#ur (#rãy_$yd (#rßyg»y_ur Îû È@Î6y «!$# y7Í´¯»s9'ré& tbqã_ötƒ |MyJômu «!$# 4 ª!$#ur Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇËÊÑÈ  
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al-baqarah : 218).
Raja’ menuntut tiga perkara, yaitu; a) Cinta kepada apa yang diharapkannya; b) Takut bila harapannya hilang; c) Berusaha untuk mencapainya.
Menurut kalangan sufi, raja’ dan khauf berjalan seimbang dan saling mempengaruhi. Setiap orang yang berharap adalah juga orang yang takut.[10]
f)         Al-Uns.
Dalam pandangan sufi, sifat uns (intim) adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah merasa sepi. Uns merupakan keadaan jiwa dan seluruh ekspressi terpusat penuh pada satu titik, yaitu Allah.
g)        Ath-Thoma’ninah.
Secara harfiyah, kata ini berarti tenang dan tentram. Tidak ada rasa was-was atau khawatir, tidak ada yang dapat mengganggu perasaan dan fikiran, karena ia telah mencapai tingkat kejiwaan yang paling tinggi.
h)        Al-Musyahadah.
Arti kata musyahadah adalah menyaksikan dengan mata kepala, tetapi term ini dalam tasawuf diartikan : menyaksikan secara jelas dan sadar apa yang dicarinya itu. Dalam hai ini yang dicari sufi adalah Allah. Jadi ia telah merasa berjumpa dengan Allah.[11]
i)        Al-Yaqin.
Perpaduan antara pengetahuan yang luas dan mendalam dengan rasa cinta dan rindu yang bergelora bertaut lagi dengan perjumpaan secara langsung tertanamlah dalam jiwanyadan tumbuh bersemi perasaan yang mantap. Dialah yang dicari itu. Perasaan mantapnya pengetahuan yang diperoleh dari pertemuan secara langsung itulah yang disebut dengan al-Yaqin.[12]
.
D.    Metode Tasawuf Amali.
Potensi untuk memperoleh ma’rifat telah ada pada manusia. Untuk , memperoleh kearifan atau ma’rifat, hati (qalb) mempunyai fungsi esensial, sebagai mana yang diungkapkan Ibnu Arabi dalam Fushus Al-Hikam-nya : “Qalb dalam pandangan kaum sufi adalah tempat kedatangan kasyf dan ilham. Ia pun berfungsi sebagai alat untuk ma’rifat dan menjadi cermin yang memantulkan (tajalli) makna-makna keghaiban”. [13]
Dalam dunia tasawuf, qalb merupakan pengetahuan tentang hakikat, termasuk di dalamnya adalah hakikat ma’rifat. Qalb yang dapat memperoleh ma’rifat adalah qalb yang telah suci dari berbagai noda atau akhlak buruk yang sering yang dilakukan manusia.
Di samping melalui tahapan-tahapan maqamat dan ahwal, untuk memperoleh ma’rifat, seseorang harus melalui upaya-upaya tertentu, seperti berikut ini :
1.      Riyadhah.
Riyadhah sering juga disebut sebagai latihan-latihan mistik, adalah latihan kejiwaan melalui upaya membiasakan diri agar tidak melakukan hal-hal yang mengotori jiwa.
Riyadhah perlu dilakukan untuk memperoleh ilmu ma’rifat yang dapat diperoleh melalui upaya melakukan perbuatan kesalehan atau kebaikan yang terus menerus. Hal terpenting dalam riyadhah adalah melatih jiwa melepaskan ketergantungan terhadap duniawi yang fatamorgana, lalu menghubungkan diri dengan realitas rohani dan Ilahi.[14]
2.      Tafakur.
Tafakur penting dilakukan bagi mereka yang menginginkan ma’rifat sebab, tatkala jiwa telah belajar dan mengolah ilmu, lalu memikirkan (bertafakur) dan menganalisanya, pintu keghaiban akan dibukakan untuknya. Menurut Al-Ghazali, orang yang berfikir dengan benar akan menjadi dzawi Al-albab (ilmuan) yang terbuka pintu qalbunya sehingga akan mendapat ilham.
3.      Tazkiyat An-Nafs.
Tazkiyat An-Nafs adalah proses penyucian jiwa manusia. Proses penyucian jiwa ini dalam kerangka tasawuf dapat dilakukan melalui tahapan takhalli dan tahalli. Tazkiyat An-Nafs adalah inti kegiatan bertasawuf.
4.      Dzikrullah .
Secara etimologi zikir adalah mengingat, sedangkan secara istilah adalah membahasi lidah dengan ucapan-ucapan pujian kepada Allah.
Pentingnya zikir untuk mendapatkan ilmu ma’rifat didasarkan atas argumentasi tentang peranan zikir itu sendiri bagi hati. Al-Ghazali dalam Ihya’, menjelaskan bahwa hati manusia tak ubahnya seperti kolam yang di dalamnya mengalir bermacam-macam  air. Pengaruh-pengaruh yang datang ke dalam hati adakalanya berasal dari luar, yaitu pancaindera dan adakalanya dari dalam, yaiti khayal, syahwat, amarah dan akhlak atau tabi’at manusia.[15]

E.     Tokoh-tokoh
1.      Rabiah Al-Adawiah.
Nama lengkap Rabi’ah bin Ismail Al-Adawiah Al-Bashriyah Al-Qaisiyah. Ia lahir diperkirakan lahir pada tahun 95 H/ 713 M di suatu perkampungan dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat pada tahun 185 H/ 801 M.
Rabiah Al-Adawiah, dalam perkembangan mistisisme dalam Islam tercatat sebagai peletak dasar tasawuf berasarkan cinta kepada Allah.[16]
2.      Dzu Al-Nun Al-Mishri.
Nama lengkapnya adalah Abu Al-Faidh Tsauban bin Ibrahim, lahir di Ikhkim, dataran tinggi Mesir tahun 180 H/ 796 M dan wafat pada tahun 246 H/ 856 M. Julukan Dzu Al-Nun diberikan kepadanya sehubungan dengan berbagai kekeramatannya yang diberikan Allah kepadanya. Diantara yang pernah ia lakukan adalah mengeluarkan seorang anak dari perut buaya di sungai Nil dalam keadaan selamat atas permintaan ibu dari anak tersebut.
a.       Al-Misri membedakan ma’rifat kepada ma’rifat sufiah dan ma’rifat aqliyah. Ma’rifat sufiah menggunakan pendekatan qalb, sedangkan aqliyah menggunakan pendekatan akal yang biasa digunakan para teolog.
b.      Ma’rifat sebenarnya adalah musyahadah qalbiyah (penyaksian hati), sebab ma’rifat merupakan fitrah dalam hati manusia sejak azali.[17]
3.      Abu Yazid Al-Bustami.
Nama lengkap Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Syarusan Al-Bustami, lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874 M dan wafat 947 M.
Ajaran tasawuf yang terpenting Abu Yazid adalah fana dan baqa. Fana berasal dari kata faniya yang berarti lenyap. Dalam istilah tasawuf, fana adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Adapun baqa berasal dari kata baqiya artinya tetap, sedang dalam istilah tasawuf adalah mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah.[18]
4.      Abu Manshur Al-Hallaj.
Nama lengkap Abu Al-Mughist Al-Husain bin Manshur bin Muhammad Al-Baidhawi, lahir di Baida sebuah kota kecil di daerah Persia pada tahun 244 H/ 855 M.
Diantara ajaran tasawuf yang paling terkenal adalah Al-Hulul dan Wahdat Asy-syuhud yang kemudian melahirkan paham wihdat al-wujud (kesatuan wujud) yang dikembangkan oleh Ibn ‘Arabi.
Al-Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia sebenarnya ada sifat-sifat keTuhanan. Ia menakwilkan ayat 34 dari Albaqarah :
øŒÎ)ur $oYù=è% Ïps3Í´¯»n=uKù=Ï9 (#rßàfó$# tPyŠKy (#ÿrßyf|¡sù HwÎ) }§ŠÎ=ö/Î) 4n1r& uŽy9õ3tFó$#ur tb%x.ur z`ÏB šúï͍Ïÿ»s3ø9$# ÇÌÍÈ  
34. Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada Para Malaikat: "Sujudlah[36] kamu kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia Termasuk golongan orang-orang yang kafir.
Bahwa Allah memberi perintah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam. Karena yang berhak diberi sujud hanya Allah, Al-Hallaj memahami bahwa dalam diri adam sebenarnya terdapat unsur keTuhanan. Ia berpendapat demikian, karena sebelum menjadikan makhluk, Tuhan melihat Dzat-Nya dan ia pun cinta kepada Dzat-Nya sendiri, cinta yang tak dapat disifatkan, dan cinta inilah  yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak ini. Ia mengeluarkan sesuati dari copy diri-Nya yang mempunyai segala sifat dan nama. Bentuk copy ini adalah Adam. Pada diri Adam-lah Allah muncul.























BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Tasawuf amali adalah tasawuf yang penekanannya pada amaliah berupa wirid dan amaliah lainnya. Dilihat dari tingkatan tasawuf terbagi menjadi murid, syaikh dan wali. Sedangkan dilihat dari segi keilmuannya tingkatan tasawuf terbagi menjadi, Syari’at; Thariqat; Hakikat dan Ma’rifat.
         Dalam dunia tasawuf, qalb merupakan pengetahuan tentang hakikat, termasuk di dalamnya adalah hakikat ma’rifat. Qalb yang dapat memperoleh ma’rifat adalah qalb yang telah suci dari berbagai noda atau akhlak buruk yang sering yang dilakukan manusia.
B.       Kritik dan Saran
Demikianlah makalah ini kami tulis dengan harapan dapat bermanfaat. Namun demikian kami penulis menyadari masih banyak kelemahan dan kekurangannya, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan, demi sempurnya makalah ini kedepannya.





[1]http://referensiagama.blogspot.com/januari/2011
[2]  Dr. Zakiyah Daradjat, Pengantar Ilmu Tasawuf, IAIN Sumut, 1981, hal. 123
[3] Ibid, hal. 128-129
[4] Ibid, hal, 135
[5] Drs. Rosihon Anwar, M. Ag., Dr. Mukhtar Solihin, M. Ag, Ilmu Tasawuf, Puskata Setia, Bandung, 2004, hal. 73
[6] Ibid, hal. 73
[7] Dr. Zakiyah Daradjat, op.cit, hal 148
[8] Drs. Rosihon Anwar, loc.cit, hal. 74
[9] Loc.cit, hal. 149
[10] Drs. Rosihon Anwar, loc.cit, hal. 75

[11] Dr. Zakiyah Daradjat, op.cit, hal. 152
[12] Ibid, hal. 154
[13] Ibid. hal 77
[14] Ibid. hal 80
[15] Ibid, hal. 82
[16] Ibid, hal. 120
[17] Ibid, hal.125
[18] Ibid, hal. 132

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KONSTITUSI DAN TATA PERUNDANG UNDANGAN INDONESIA

KONSTITUSI DAN TATA PERUNDANG UNDANGAN INDONESIA     A.    Pengetian Konstitusi Konstitusi berasal dari bahasa Perancis “ constituer” yang akan berarti membentuk. Maksud dari istilah tersebut ialah pembentukan, penyusunan, atau pernyataan akan suatu Negara. Dalam bahasa latin, ”konstitusi” merupakan gabungan dua kata, yakni cume berarti ”bersama dengan…” dan statuere berarti ”membuat sesuatu agar berdiri atau mendirikan, menetapkan sesuatu”. Istilah konstitusi ( constitution ) dalam bahasa Inggris, memiliki makna yang lebih luas dari pada Undang-Undang Dasar, yakni konstitusi adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang secara mengikat cara-cara bagaimana suatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat. Konstitusi menurut Miriam Budiardjo adalah suatu piagam yang menyatakan cita-cita bangsa dan merupakan dasar organisasi kenegaraan suatu bangsa. Sedangkan Undang- Undang dasar merupakan bagian tertulis dalam konstit

Tafsir Israiliyyat

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Masalah Teks al-Qur'an adalah wahyu Allah yang tidak akan berubah oleh campur tangan manusia, tapi pemahaman terhadap al-Qur'an tidak tetap, selalu berubah sesuai dengan kemampuan orang yang memahami isi kandungan al-Qur'an itu dalam rangka mengaktualkannya dalam bentuk konsep yang bisa dilaksanakan. Sepeninggal Rasulullah saw, umat Islam banyak menemukan kesulitan karena meskipun mereka mengerti bahasa Arab, al-Qur'an terkadang mengandun isyarat-isyarat yang belum bisa dijangkau oleh pikiran orang-orang Arab. Oleh karena itu mereka membutuhkan tafsir yang bisa membimbing dan menghantarkan mereka untuk memahami isyarat-isyarat seperti itu.   Salah satu cara yang mereka ambil dalam menafsirkan Al Quran yaitu bertanya   kepada ahli kitab, yaitu kaum Yahudi dan Nashrani. Hal itu mereka lakukan lantaran sebagian masalah dalam Al-Qur'an memiliki persamaan dengan yang ada dalam kitab suci mereka, terutama berbagai