BAB I
PENDAHULUAN
Hasrat untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah tujuan utama dari
sufi dan merupakan keinginan yang manusiawi. Sejalan dengan semakin
berkembangnya tasawuf, maka orang yang ingin mendekatkan diri kepada Tuhan
smakin banyak pula.
Tinjauan analitis terhadap tasawuf menunjukkan bahwa para sufi
dengan berbagai aliran yang dianutnya memiliki konsepsi tentang jalan (thariqat)
menuju Allah. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniyah (riyadhah),
lalu secara bertahap menempuh fase yang dikenal dengan maqam (tingkatan)
dan hal (keadaan). Tingkat pengenalan ma’rifat adalah jargon yang
pada umumnya dikejar oleh para sufi. Lingkup perjalanan para sufi untuk
memperoleh ma’rifat ini sering juga disebut kerangka ‘Irfani.
Rumusan masalah.
a.
Apa
itu Tasawuf Amali?
b.
Apa
saja istilah-istilah yang terdapat dalam tasawus amali?
c.
Bagaimana
tingkatan dan keadaan para sufi?
d.
Siapa
saja tokoh tasawuf amali ?
BAB II
PEMBAHASAN
TASAWUF AMALI
A.
Pengertian.
Tasawuf amali adalah tasawuf yang penekanannya pada amaliah berupa
wirid dan amaliah lainnya. Tasawuf amali atau hadah, menghapuskan sifat-sifat
yang tercela, melintasi semua hambatan itu, dan menghadap total dari segenap
esensi diri hanya kepada Alla SWT. Di dalamnya terdapat kaedah-kaedah suluk
(perjalanan tarbiyah ruhaniyah), macam-macam etika (adab) secara terperinci,
seperti hubungan antara murid dengan shaykh, uzlah dengan khalwah, tidak banyak
makan, mengoptimalkan waktu malam, diam, memeperbanyak zikir, dan semua yang
berkaitan dengan kaedah-kedah suluk dan adab.[1]
Pada hakikatnya metode kaum
shufi ini hanyalah sebuah lanjutan atau pengembangan dari tasawuf sunni.
Dinamakan tasawuf amali karena sisi amal di dalamnya lebih dominan dari sisi
teori.
B.
Istilah-istilah
dalam tasawuf amali.
Dilihat dari tingkatan dan komunitas itu, terdapat beberapa istilah
sebagai berikut, yaitu :
a)
Menurut
Al- Kalabazi dalam bukunya “At-Ta’arruf li al- Madzhab ahli ash-shaufiyah;
menyatakan bahwa murid yaitu, orang yang mencari pengetahuan dan bimbingan
dalam melaksanakan amal ibadahnya, dengan memusatkan segala perhatian dan
usahanya kearah itu, melepas segala kemauannya dengan menggantungkan diri dan
nasibnya kepada iradah Allah.
Murid dalam
tasawuf ada tiga kelas, yaitu :
1.
Mubtadi
atau Pemula, yaitu mereka yang baru mempelajari syari’at.
2.
Mutawassith,
adalah tingkatan menengah yaitu, orang yang sudah dapat melewati kelas pemula,
telah mempunyai pengetahuan yang cukup dengan syari’at.
3.
Muntahi,
adalah tingkat atas atau orang yang telah matang ilmu syari’at sudah menjalani
tarekat dan mendalami ilmu bathiniyah.
b)
Syekh
yaitu, seorang pemimpin kelompok kerohanian, pengawas murid-murid dalam segala
kehidupanny, penunjuk jalan dan sewaktu-waktu dianggap sebagai perantara antara
seorang murid dengan Tuhannya.
c)
Wali
dan Quthub , yaitu seseorang yang telah sampai kepuncak kesuucian bathin,
memperoleh ilmu laduni yang tinggi sehingga tersingkap tabir rahasia yang
gaib-gaib. Orang seperti ini akan memperoleh karunia dari Allah dan itulah yang
disebut wali.[2]
Dilihat dari sudut amalan serta jenis ilmu yang dipelajari, maka
terdapat beberapa istialah yang khas dalam dunia tasawuf, yaitu : ilmu-lahir
dan ilmu-bathin. Oleh karena itu cara memahami dan mengamalkannya juga harus
memiliki aspek lahir dan aspek batin. Kedua aspek yang terkandung dalam ilmu
itu mereka bagi kepada empat kelompok, yaitu :
a)
Syari’at.
Syari’at mereka
artikan sebagai amalan-amalan lahir yang difardukan dalam Agama, yang biasanya
dikenal sebagai rukun Islam dan segala hal yang berhubungan dengan itu
bersumber dari Al Quran dan Sunnah Rasul.
b)
Tarekat.
Dalam melakukan
syari’at tersebut di atas, haruslah berdasarkan tata cara yang telah digariskan
dalam Agama dan dilakukan hanya karena pengahambaan diri kepada Allah, karena
kecintaan kepada Allah dan karena ingin berjumpa dengan-Nya.
c)
Hakikat.
Secara lughawi,
hakikat berarti inti sesuatu, puncak atau sumber asal sesuatu. Dalam dunia sufi,
hakikat diartikan sebagai aspek lain dari syari’at yang bersifat lahiriyah,
yaitu aspek bathiniah. Dengan demikian dapat diartikan sebagai rahasia yang
paling dalam dari segala amal, inti dari syari’at dan akhir dari perjalanan
yang ditempuh oleh seorang sufi.
d)
Ma’rifah.
Dari segi
bahasa, ma’rifah berarti pengetahuan atau pengalaman, sedangkan dalam istilah
sufi, ma’rifah itu diartikan sebagai pengetahuan mengenai tuhan melalui hati
sanubari.[3]
C.
Jalan
mendekatakan diri kepada Allah.
1)
Al-Maqamat.
Untuk mencapai tujuan tasawuf, seorang mubtadi harus
menempuh jalan yang panjang dan berat, melakukan berbagai macam usaha dan amal
baik bersifat zahir maupun bathin. Hal itu dapat dilakukan dengan tahap-tahap
tertentu atau yang biasa disebut maqam ( مقام ) .[4]
Menurut Ath- Thusi yang paling populer dikalangan sufi
adalah 7 maqam, yaitu:
a)
At-Taubah /التوبة .
Menurut ahli sufi, yang menyebabkan manusia jauh dari
Allah adalah karena dosa. Sebab dosa adalah sesuatu yang kotor, sedangkan Allah
Maha Suci. Oleh karena itu, apabila seseorang ingin mendakatkan diri kepada
Tuhan atau ingin “melihat” Tuhan, maka ia harus membersihkan dirinya dari
segala macam dosa dengan jalan bertaubat dalam arti sebenarnya.
b)
Az-zuhud / الزهد.
Menurut pandangan ahli sufi, dunia dan segala kehidupan materinya
adalah sumber kemaksiatan dan penyebab terjadinya perbuatan dosa.
Oleh karena itu, seorang mubtadi atau calon sufi harus
lebih dahulu menjadi zahid (assatic). Tekanan utamanya adalah mengurangi
keinginan terhadap kehidupan dunia, karena kehidupan dunia ini bersifat
sementara dan apabila manusia tergoda oleh kehidupan dunia akan menjauhkan
dirinya kepada Allah SWT.
c)
Al- Wara’ / الورع.
Wara’ adalah menghindari apa saja yang tidak baik. Orang
sufi mengartikan wara’ itu, meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas
persoalannya. Ibrahim bin Adham berpendapat, wara adalah meninggalkan segala
yang masih diragukan dan meninggalkan kemewahan.
d)
Al- Farq / الفقر.
Pesan yang terkandung adalah agar manusia bersifat
hati-hati terhadapa pengaruh negatif yang bisa diakibatkan oleh keinginan
kepada harta kekayaan. Namun bagi sufi sendiri, mereka merasa tidak lebih baik
tidak punya apa-apa, atau sudah merasa cukup dengan apa adanya, dari pada punya
tapi menyiksa.
e)
Ash- Shabr / الصبر.
Shabar artinya konsekwen dan konsisten dalam melaksanakan
semua perintah Allah. Berani menghadapi kesulitan dan tabah dalam menghadapi
cobaan-cobaan selama perjuangan demi tercapainya tujuan.
Shabar merupakan perlengkapan primer, sukses tidaknya
perjuangan tergantung kepada keshabaran. Orang yang berhasil membentuk dirinya
sebagai manusia penyabar akan memperoleh status yang tinggi dan mulia, Firman
Allah :
íN»n=y /ä3øn=tæ $yJÎ/ ÷Län÷y9|¹ 4
zN÷èÏYsù Ót<ø)ãã Í#¤$!$# ÇËÍÈ
24. (sambil mengucapkan):
keselamatan atasmu berkat kesabaranmu Maka Alangkah baiknya tempat kesudahan
itu. (QS. Al-rad: 24).
f)
At-Tawakal
/ التو كل.
Secara umum pengertian tawakal adalah pasrah secara bulat
kepada Allah setelah melaksanakan sesuatu rencana atau usaha. Firman Allah
(.. #sÎ*sù |MøBztã ö@©.uqtGsù n?tã «!$# 4
¨bÎ) ©!$# =Ïtä tû,Î#Ïj.uqtGßJø9$# ÇÊÎÒÈ
159..kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS. Al-imran: 159).
Tawakal adalah gambaran keteguhan hati dalam
menggantungkan diri hanya kepada Allah. Dalam hal ini, Al-Ghazali mengaitkan tawakal dengan tauhid, dengan
penekanan bahwa tauhid berfungsi sebagai landasan tawakal.[5]
g)
Ar-Ridha / الرضا.
Al- Junaidi mengartikan Ridha itu meninggalkan usaha
( ترك الاختيار ), sedangkan Dzu an-Nun al-Mishri mengatakan,
Ridha itu ialah menerima qada dan qadar dengan kerelaan hati.
Menurut Abdul Halim Mahmud, ridha mendorong manusia untuk
berusaha sekuat tenaga mencapai apa yang dicintai Allah dan Rasulnya. Namun,
sebelum mencapainya, ia harus menerima dan merelakan akibatnya dengan cara
apapun yang disukai Allah.[6]
2) Al-Ahwal.
Menurut ahli
sufi, al-Ahwal adalah situasi kejiwaan yang diperoleh seseorang sebagai kurnia
Allah. Akan tetapi apabila diperhatikan isi dari apa yang disebut al-hal itu
sebenarnya adalah merupakan manifestasi dari maqom yang mereka lalui. Dengan
kata lain, bahwa kondisi mental yang diperoleh sufi itu adalah sebagai hasil
dari amalan yang dilakukan.[7]
Hal-hal yang
sering dijumpai dalam perjalanan sufi, yaitu:
a)
Al-Muraqabah dan Muhasabah.
Muraqabah atau mawas diri adalah meneliti dengan cermat
apakah perbuatan sehari-hari telah sesuai atau malah menyimpang dari yang
dikehendaki-Nya. Muhasabah atau waspada dapat diartikan menyakini bahwa Allah
mengetahui segala pikiran, perbuatan dan rahasia dalam hati yang membuat
seseorang menjadi hormat, takut dan tunduk kepada Allah.[8]
Menurut kalangan sufi mengandung pengertian, adanya
kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah dalam keadaan diawasi.
Artinya si makhluk senantiasa dalam keadaan waspada (muhasabah) bahwa ia
dalam keadaan diawasi Khaliknya.[9]
b)
Mahabbah
.
Dalam
pandangan tasawuf mahabbah (cinta) merupakan pijakan dari segenap kemulian al-hal,
seperti tobat yang menjadi dasar kemuliaan maqom. Karena mahabbah
pada dasarnya adalah anugrah yang menjadi dasar pijakan bagi segenap hal, kaum
sufi menyebutnya sebagai anugerah-anugerah (mawahib).
c)
Asy-Syauq.
Syauq
atau rindu adalah kondisi kejiwaan yang menyertai mahabbah, yaitu rasa rindu (yearning)
yang memancar dari qalbu karena gelora cinta yang murni. Pengetahuan dan
pengenalan yang mendalam terhadapa Allah akan menimbulakan rasa senang dan
gairah
d)
Al-Khauf.
Khauf menurut ahli sufi
berarti suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang
sempurna pengabdiannya. Takut dan khawatir kalau-kalau Allah tidak senang
kepadanya.
e)
Ar-raja’.
Menurut kalangan sufi, Raja’ dapat berarti berharap atau
optimis, yaitu perasaan senang hati karena menanti sesuatu yang diinginkan atau
disenangi. Raja’ atau optimis ini telah ditegaskan dalam Al-Qur’an :
¨bÎ) úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä z`É©9$#ur (#rãy_$yd (#rßyg»y_ur Îû È@Î6y «!$# y7Í´¯»s9'ré& tbqã_öt |MyJômu «!$# 4
ª!$#ur Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇËÊÑÈ
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan
Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang” (QS. Al-baqarah : 218).
Raja’ menuntut tiga perkara, yaitu; a) Cinta kepada apa
yang diharapkannya; b) Takut bila harapannya hilang; c) Berusaha untuk
mencapainya.
Menurut kalangan sufi, raja’ dan khauf berjalan seimbang
dan saling mempengaruhi. Setiap orang yang berharap adalah juga orang yang
takut.[10]
f)
Al-Uns.
Dalam
pandangan sufi, sifat uns (intim) adalah sifat merasa selalu berteman,
tak pernah merasa sepi. Uns merupakan keadaan jiwa dan seluruh ekspressi
terpusat penuh pada satu titik, yaitu Allah.
g)
Ath-Thoma’ninah.
Secara
harfiyah, kata ini berarti tenang dan tentram. Tidak ada rasa was-was atau
khawatir, tidak ada yang dapat mengganggu perasaan dan fikiran, karena ia telah
mencapai tingkat kejiwaan yang paling tinggi.
h)
Al-Musyahadah.
Arti
kata musyahadah adalah menyaksikan dengan mata kepala, tetapi term ini dalam
tasawuf diartikan : menyaksikan secara jelas dan sadar apa yang dicarinya itu.
Dalam hai ini yang dicari sufi adalah Allah. Jadi ia telah merasa berjumpa
dengan Allah.[11]
i)
Al-Yaqin.
Perpaduan
antara pengetahuan yang luas dan mendalam dengan rasa cinta dan rindu yang bergelora
bertaut lagi dengan perjumpaan secara langsung tertanamlah dalam jiwanyadan
tumbuh bersemi perasaan yang mantap. Dialah yang dicari itu. Perasaan mantapnya
pengetahuan yang diperoleh dari pertemuan secara langsung itulah yang disebut
dengan al-Yaqin.[12]
.
D.
Metode
Tasawuf Amali.
Potensi
untuk memperoleh ma’rifat telah ada pada manusia. Untuk , memperoleh kearifan
atau ma’rifat, hati (qalb) mempunyai fungsi esensial, sebagai mana yang
diungkapkan Ibnu Arabi dalam Fushus Al-Hikam-nya : “Qalb dalam pandangan
kaum sufi adalah tempat kedatangan kasyf dan ilham. Ia pun berfungsi sebagai
alat untuk ma’rifat dan menjadi cermin yang memantulkan (tajalli) makna-makna
keghaiban”. [13]
Dalam
dunia tasawuf, qalb merupakan pengetahuan tentang hakikat, termasuk di
dalamnya adalah hakikat ma’rifat. Qalb yang dapat memperoleh ma’rifat
adalah qalb yang telah suci dari berbagai noda atau akhlak buruk
yang sering yang dilakukan manusia.
Di
samping melalui tahapan-tahapan maqamat dan ahwal, untuk
memperoleh ma’rifat, seseorang harus melalui upaya-upaya tertentu,
seperti berikut ini :
1.
Riyadhah.
Riyadhah
sering juga disebut sebagai latihan-latihan mistik, adalah latihan
kejiwaan melalui upaya membiasakan diri agar tidak melakukan hal-hal yang
mengotori jiwa.
Riyadhah
perlu dilakukan untuk memperoleh ilmu ma’rifat yang dapat
diperoleh melalui upaya melakukan perbuatan kesalehan atau kebaikan yang terus
menerus. Hal terpenting dalam riyadhah adalah melatih jiwa melepaskan
ketergantungan terhadap duniawi yang fatamorgana, lalu menghubungkan diri dengan
realitas rohani dan Ilahi.[14]
2.
Tafakur.
Tafakur
penting dilakukan bagi mereka yang menginginkan ma’rifat sebab,
tatkala jiwa telah belajar dan mengolah ilmu, lalu memikirkan (bertafakur)
dan menganalisanya, pintu keghaiban akan dibukakan untuknya. Menurut
Al-Ghazali, orang yang berfikir dengan benar akan menjadi dzawi Al-albab (ilmuan)
yang terbuka pintu qalbunya sehingga akan mendapat ilham.
3.
Tazkiyat
An-Nafs.
Tazkiyat
An-Nafs adalah proses penyucian jiwa
manusia. Proses penyucian jiwa ini dalam kerangka tasawuf dapat dilakukan
melalui tahapan takhalli dan tahalli. Tazkiyat An-Nafs adalah inti
kegiatan bertasawuf.
4.
Dzikrullah
.
Secara
etimologi zikir adalah mengingat, sedangkan secara istilah adalah
membahasi lidah dengan ucapan-ucapan pujian kepada Allah.
Pentingnya
zikir untuk mendapatkan ilmu ma’rifat didasarkan atas argumentasi
tentang peranan zikir itu sendiri bagi hati. Al-Ghazali dalam Ihya’, menjelaskan
bahwa hati manusia tak ubahnya seperti kolam yang di dalamnya mengalir
bermacam-macam air. Pengaruh-pengaruh
yang datang ke dalam hati adakalanya berasal dari luar, yaitu pancaindera dan
adakalanya dari dalam, yaiti khayal, syahwat, amarah dan akhlak atau tabi’at
manusia.[15]
E.
Tokoh-tokoh
1.
Rabiah
Al-Adawiah.
Nama
lengkap Rabi’ah bin Ismail Al-Adawiah Al-Bashriyah Al-Qaisiyah. Ia lahir
diperkirakan lahir pada tahun 95 H/ 713 M di suatu perkampungan dekat kota
Bashrah (Irak) dan wafat pada tahun 185 H/ 801 M.
Rabiah
Al-Adawiah, dalam perkembangan mistisisme dalam Islam tercatat sebagai peletak
dasar tasawuf berasarkan cinta kepada Allah.[16]
2.
Dzu
Al-Nun Al-Mishri.
Nama
lengkapnya adalah Abu Al-Faidh Tsauban bin Ibrahim, lahir di Ikhkim, dataran
tinggi Mesir tahun 180 H/ 796 M dan wafat pada tahun 246 H/ 856 M. Julukan Dzu
Al-Nun diberikan kepadanya sehubungan dengan berbagai kekeramatannya yang
diberikan Allah kepadanya. Diantara yang pernah ia lakukan adalah mengeluarkan
seorang anak dari perut buaya di sungai Nil dalam keadaan selamat atas
permintaan ibu dari anak tersebut.
a.
Al-Misri
membedakan ma’rifat kepada ma’rifat sufiah dan ma’rifat
aqliyah. Ma’rifat sufiah menggunakan pendekatan qalb, sedangkan aqliyah
menggunakan pendekatan akal yang biasa digunakan para teolog.
b.
Ma’rifat sebenarnya adalah musyahadah qalbiyah (penyaksian hati),
sebab ma’rifat merupakan fitrah dalam hati manusia sejak azali.[17]
3.
Abu
Yazid Al-Bustami.
Nama
lengkap Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Syarusan Al-Bustami, lahir di daerah
Bustam (Persia) tahun 874 M dan wafat 947 M.
Ajaran
tasawuf yang terpenting Abu Yazid adalah fana dan baqa. Fana
berasal dari kata faniya yang berarti lenyap. Dalam istilah tasawuf,
fana adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Adapun baqa
berasal dari kata baqiya artinya tetap, sedang dalam istilah tasawuf
adalah mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah.[18]
4.
Abu
Manshur Al-Hallaj.
Nama
lengkap Abu Al-Mughist Al-Husain bin Manshur bin Muhammad Al-Baidhawi, lahir di
Baida sebuah kota kecil di daerah Persia pada tahun 244 H/ 855 M.
Diantara
ajaran tasawuf yang paling terkenal adalah Al-Hulul dan Wahdat Asy-syuhud
yang kemudian melahirkan paham wihdat al-wujud (kesatuan wujud) yang
dikembangkan oleh Ibn ‘Arabi.
Al-Hallaj
berpendapat bahwa dalam diri manusia sebenarnya ada sifat-sifat keTuhanan. Ia
menakwilkan ayat 34 dari Albaqarah :
øÎ)ur $oYù=è% Ïps3Í´¯»n=uKù=Ï9 (#rßàfó$# tPyKy (#ÿrßyf|¡sù HwÎ) }§Î=ö/Î) 4n1r& uy9õ3tFó$#ur tb%x.ur z`ÏB úïÍÏÿ»s3ø9$# ÇÌÍÈ
34. Dan
(ingatlah) ketika Kami berfirman kepada Para Malaikat: "Sujudlah[36] kamu
kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur
dan adalah ia Termasuk golongan orang-orang yang kafir.
Bahwa
Allah memberi perintah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam. Karena yang
berhak diberi sujud hanya Allah, Al-Hallaj memahami bahwa dalam diri adam
sebenarnya terdapat unsur keTuhanan. Ia berpendapat demikian, karena sebelum
menjadikan makhluk, Tuhan melihat Dzat-Nya dan ia pun cinta kepada Dzat-Nya
sendiri, cinta yang tak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang
banyak ini. Ia mengeluarkan sesuati dari copy diri-Nya yang mempunyai segala
sifat dan nama. Bentuk copy ini adalah Adam. Pada diri Adam-lah Allah muncul.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Tasawuf
amali adalah tasawuf yang penekanannya pada amaliah berupa wirid dan amaliah
lainnya. Dilihat dari tingkatan tasawuf terbagi menjadi murid, syaikh dan wali.
Sedangkan dilihat dari segi keilmuannya tingkatan tasawuf terbagi menjadi,
Syari’at; Thariqat; Hakikat dan Ma’rifat.
Dalam dunia tasawuf, qalb merupakan pengetahuan tentang
hakikat, termasuk di dalamnya adalah hakikat ma’rifat. Qalb yang
dapat memperoleh ma’rifat adalah qalb yang telah suci dari
berbagai noda atau akhlak buruk yang sering yang dilakukan manusia.
B.
Kritik
dan Saran
Demikianlah
makalah ini kami tulis dengan harapan dapat bermanfaat. Namun demikian kami
penulis menyadari masih banyak kelemahan dan kekurangannya, untuk itu kritik
dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan, demi sempurnya
makalah ini kedepannya.
[1]http://referensiagama.blogspot.com/januari/2011
[2] Dr. Zakiyah Daradjat, Pengantar Ilmu
Tasawuf, IAIN Sumut, 1981, hal. 123
[3]
Ibid, hal. 128-129
[4] Ibid, hal, 135
[5] Drs. Rosihon Anwar, M. Ag., Dr. Mukhtar
Solihin, M. Ag, Ilmu Tasawuf, Puskata Setia, Bandung, 2004, hal. 73
[6] Ibid, hal. 73
[7]
Dr. Zakiyah Daradjat, op.cit, hal
148
[8] Drs. Rosihon Anwar, loc.cit, hal. 74
[9] Loc.cit, hal. 149
[10] Drs. Rosihon Anwar, loc.cit, hal. 75
[11]
Dr. Zakiyah Daradjat, op.cit, hal.
152
[12]
Ibid, hal. 154
[13]
Ibid. hal 77
[14]
Ibid. hal 80
[15]
Ibid, hal. 82
[16]
Ibid, hal. 120
[17]
Ibid, hal.125
[18]
Ibid, hal. 132
Komentar
Posting Komentar