BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang Masalah
Faktor yang paling mendasar dari
penyebab pentingnya penelitian terhadap riwayat adalah timulnya pemalsuan
hadits dan banyaknya bermunculan hadits-hadits palsu. Kemunculan riwayat hadits
palsu yang tersebar di masyarakat, menyulitkan masyarakat Islam yang ingin
mengetahui riwayat yang dapat dipertanggungjawabkan.
Hadits-hadits maudhu’ yang beredar
di masyarakat hampir menjadi tradisi, anutan dan pedoman beragama, bahkan
dianggap sebagai hadits yang berasal dari Nabi. Kondisi demikian dapat
mengacaukan, oleh karena itu penelitian terhadap hadits-hadits maudhu’ sebagai
upaya untuk meluruskan pemahaman masyarakat merupakan suatu misi yang sangat
penting untuk dilakukan.
2. Rumusan
Masalah.
Dalam
makalah ini, kami akan mencoba membahas beberapa poin tentang hadits maudhu’,
yaitu:
a.
Pengertian Hadits Maudhu
b.
Sejarah Berkembangnya Hadits Maudhu
c.
Latar Belakang Munculnya Hadits Maudhu
d.
Status Hadits Maudhu
e.
Hukum Meriwayatkan Hadist Palsu
f.
Metode Periwayatan Hadist Maudhu
g.
Ciri-ciri Hadist Maudhu
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hadist Maudhu
Pengertian
hadist maudhu dapat dilihat dari dua pendekatan, yaitu pendekatan kebahasaan (etimologis) dan pendekatan keistilahan (terminologis). Kedua pendekatan ini
perlu dilihat secara bersamaan tanpa mengabaikan pengertian salah satunya
karena keduanya mempunyai keterkaitan yang erat dalam memahami hadis maudhu’
dalam konteks ilmu hadist.
1.
Pengertian Kebahasaan (Etimologi)
Secara
bahasa, kata hadist maudhu merupakan bentu isim maf’ul dari kata dasarnya yaituوضع.
kata وضع yang terdiri atas tiga huruf adalah suatu
bangunan kata yang pada dasarnya menunjukkan arti والحطﺔ الخفض
,
yang berarti menurunkan atau merendahkan (derajat)[1].
Meskipun
demikian, bangunan kata al-maudhu ini secara kebahasaan memiliki beberapa
konotasi makna yang berbeda-beda, tetapi mengarah pada suatu pengertian yang
sama.
Beberapa
konotasi makna itu di antaranya adalah berikut ini.
a. الحطﺔ,
yang mengandung arti menurunkan atau merendahkan derajat dan tidak memiliki
dasar sama sekali untuk diangkat sebagai hujjah.
b. الإسقاط , yang mengandung arti bahwa hadist maudhu adalah hadist
yang gugur tidak boleh diangkat sebagai landasan istidlal.
c. الإختلاق
, yang mengandung arti hadist maudhu adalah hadist yang di buat-buat sebagai
ucapan, perbuatan atau ketetapan yang berasal dari Nabi, padalah bukan berasal
dari Nabi.
d. الإلصاق , yang mempunyai arti bahwa hadist maudhu adalah hadist yang
ditempelkan (diklaim) kepada Nabi agar dianggap berasal dari Nabi.
Makna bahasa ini terdapat pula dalam
hadits maudhu karena: Rendah dalam kedudukannya. Jatuh/gugur ( tidak bisa
diambil dasar hukum ). Dibuat-buat oleh perawinya. Disandarkan pada Muhammad
shallallohu alaihi wa sallam sedang beliau tidak mengatakannya.
2.
Pengertian Keistilahan (Terminologis)
Pengertian
hadist maudhu secara terminologis diberikan oleh para muhadsisin dengan redaksi
yang berbeda beda, tetapi pada intinya mempunyai persamaan dalam hal prinsip
makna yang mendasar.
a. Umar
bin Hasan Fallatah mengambil defenisi hadist maudhu, sebagaimna yang dinyatakan
sebagai berikut:
الموضوع؛ الحديث المختلق المصنوع المكذوب على
رسول ﷲ ص م عمدا أوخطأ
Artinya :
“Hadist
maudhu adalah hadist yang diciptakan dan dibuat-buat, yang bersifat dusta
terhadap Rasulullah SAW.,di buat secara sengaja atau tidak sengaja.” [2]
b. Imam
As Sindi mengemukakan defenisi hadist maudhu sebagai berikut:
Artinya :
الوضع أن يكذب الراوى فى الحديث النبوي بأن يروي عنه ص م مالم يقله لفظا ولا معنا متعمد الذ الك.
“Al-Wadh’u
(pendustaan riwayat) adalah usaha seorang rawi secara dusta dalam riwayat
hadist Nabi SAW., dengan cara meriwayatka sesuatu dari Nabi Muhammad SAW.,
padalah Nabi sendiri tidak pernah mengucapkan ucapan itu, baik berupa lafaz
maupun makna, yang dia lakukan secara sengaja.” [3]
B.
Sejarah Berkembangnya Hadist Maudhu
Para ahli berbeda pendapat dalam menentukan kapan mulai
terjadinya pemalsuan hadits. Diantara pendapat-pendapat yang ada sebagai
berikut:
1. Menurut Ahmad Amin, bahwa hadits
palsu terjadi sejak jaman Rasulullah Saw, beliau beralasan dengan sebuah hadits
yang matannya
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ
مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
Barangsiapa berdusta atas saya dengan sengaja maka tempatnya di neraka. ( Riwayat Bukhari- Muslim)
Barangsiapa berdusta atas saya dengan sengaja maka tempatnya di neraka. ( Riwayat Bukhari- Muslim)
Menurutnya hadits tersebut
menggambarkan kemungkinan pada zaman Rasulullah Saw. telah terjadi pemalsuan
hadits. Akan tetapi pendapat ini kurang disetujui oleh H.Mudatsir didalam
bukunya Ilmu Hadits, dengan alasan Ahmad Amin tidak mempunyai alasan
secara histories, selain itu pemalsuan hadits dijaman Rasulullah Saw. tidak
tercantum didalam kitab-kitab standar yang berkaitan dengan Asbabul Wurud. Dan
data menunjukan sepanjang masa Rasulullah Saw. tidak pernah ada seorang
sahabatpun yang sengaja berbuat dusta kepadanya.
2. Menurut jumhur muhadditsin, bahwa
hadits telah mengalami pemalsuan sejak jaman khalifah Ali bin Abi Thalib.
Sebelum terjadi pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abu
Sufyan, hadits masih bisa dikatakan selamat dari pemalsuan.[4]
C.
Latar
Belakang Munculnya Hadist Maudhu
Berdasarkan faktor sejarah yang ada, pemalsuan hadist bukan
saja dilakukan oleh orang yang beramaga Islam, tapi kegiatan ini juga dilakukan
oleh orang yang bukan beragama Islam. Adapun faktor munculnya hadist palsu ini
dapat diuraikan sebagai berikut:
1.
Faktor
Pertentangan Politik
Pemerintahan pada masa khalifah Ali
bin Abi Thalib melahirkan perpecahan dikalangan umat Islam. Ini ditandai dengan
munculnya golongan dengan afiliasi politik,. Perpecahan ini dilatarbelakangi
oleh kepentingan politik sehingga mereka menghalalkan segala cara, seperti
dengan cara membuat-buatr hadist yang pada hakikatnya bukan berasal dari Nabi,
gunanya untuk menyakinkan umat akan kebenaran politik dan keutamaan pemimpin
mereka.[5]
Golongan Syi’ah membuat hadist
mengenai kekhalifahan Ali, yakni mengenai keutamaannya. Menurut Al Khalily
dalam kitab Al Irsyad fi ‘Ulamil Bilad, para pemalsu hadist yang terdiri dari
orang Parsi telah membuat hadist palsu sejumlah 300.000 hadist.[6]
Diantara hadist yang dibuat oleh
golongan Syi’ah itu adalah :
1)
“Barang siapa ingin melihat kepada
Adamtentang ketinggian ilmunya, ingin melihat Nuh tentang ketaqwaannya, ingin
melihat kepada Ibrahim tentang kebaikan hatinya, ingin melihat kepada Musa
tentang kehebatannya, ingin melihat kepada Isa tentang ibadahnya, maka
hendaklah ia melihat kepada Ali.”
2)
“Apabila kamu melihat akan Mu’awiyah
atas mimbarku, bunuhlah akan dia.”
Golongan
yang fanatik kepada Mu’awiyah membuat pula hadist yang menerangkan
keutamaannya. Mereka mendakwa bahwa Nabi bersabda :
”Orang kepercayaan hanya tiga orang
saja, Saya (Nabi), Jibril dan Mu’awiyah.”[7]
2.
Faktor
Zandaqah
Dimaksud dengan zandaqah, rasa
dendam yang bergelimang dalam hati sanubari golongan yang tidak menyukai
kebangunan Islam dan kejayaan pemerintahannya. Mereka tidak mungkin dapat
melampiaskan kebencian melalui konfrontasi (pemberontakan) dan pemalsuan Al
Quran, maka cara yang paling tepat dan memungkinkan adalah melalui pemalsuan hadist, dengan tujuan menghancurkan
agama Islam dari dalam.
Hamad bin Zaid berpendapat bahwa
orang-orang zindik memalsukan sebanyak 14.000 hadist. Ibnu Adi berkata bahwa
Abdul Karim bin ‘Abul Auja’ ketika ditangkap dan dihadapkan kepada Muhammad ibn
Sulaiman ibn Ali yang kemudian di potong lehernya berkata, “ Demi Allah aku telah memalsukan hadist kepada kalian sebanyak 4000
hadist untuk mengharamkan yang halal dan menhalalkan yang haram.”[8]
Diantara hadist maudhu yang mereka
buat dan sebarkan adalah:
1) “Melihat
atau memandang kepada muka yang indah, adalah ibadah.”
2) “Buah
terong itu penawar bagi segala penyakit.”
3.
Faktor
Ashabiyah
Yakni, fanatik kebangsaan,
kekabilahan, kebahasaan dan keimanan. Mereka membuat hadist palsu karena
didorong oleh sifat ego dan fanatik buta serta ingin menonjolkan suatu kelompok
bangsa atau yang lainnya.
a. Mereka yang fanatik kepada bangsa
Parsi membuat hadist,
“Bahwasanya Allah apabila marah
menurunkan wahyu dengan bahasa Arab dan apabila ridha menurunkan wahyu dengan
bahasa Parsi.”
b. Mereka yang fanatik dengan bangsa
Arab membuat hadist.
“ Bahwasanya Allah apabila marah
menurunkan wahyu dengan bahasa Parsi dan apabila ridha menurunkan wahyu dengan
bahasa Arab.”
c. Mereka yang fanatik kepada Abu
Hanifah, membuat hadist,
“Akan ada seorang lelaki dari umatku
yang dinamai Abu Hanifah An Nu’man ibn Tsabit; dialah pelita umatku.”[9]
4.
Faktor
Perselisihan dalam Ilmu Fiqh dan Ilmu Kalam
Pengikut-pengikut mazhab ilmu fiqih
dan ilmu kalam mempunyai pandangan picik dan fanatik dalam berbagai hal, dan
untuk menguatkan mazhab yang mereka anut mereka tidak segan-segan untuk membuat
hadist palsu.[10]
Contoh hadist palsu dibidang ilmu
fiqh[11]
“Barang
siapa yang mengangkat dua tangan pada ruku’, tak adalah shalat
baginya.”(fanatik pada mazhab Abu Hanifah).
“Aku
berimam kepada jibril di sisi Ka’bah, maka ia menyaringkan
Bismillahirrahmanirrahim.”(fanatik pada mazhab Syafi’i)
Contoh hadist palsu dibidang ilmu
kalam
“Barang
siapa yang mengatakan bahwa Alqur’an itu makhluk, kufur(kafirlah) ia.”
5.
Faktor
Menjilat Penguasa
Ulama-ulama Su’ membuat hadist palsu
untuk membenarkan perbuatan-perbuatan para penguasa sehingga dari perbuatannya
tersebut mereka mendapat upah dengan diberi kedudukan atau harta. Diantara
pemalsu tersebut adalah Ghiyats ibn Ibrahim.[12]
D.
Status
Hadist Maudhu
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan status hadist
maudhu apakah merupakanbagian dari hadist atau bukan. Pertentangna pendapat ini
sangnat berkait erat dengan definisi hadist maudhu yang dirumuskan oleh para
ulama muhaddisin, yaitu sebagai hadist yang mengandung unsur yang dibuat-buat,
dusta, dengan cara sengaja atau tidak sengaja.[13]
Dalam hal ini terdapat dua pendapat, diantaranya:
Kelompok pertama, yang diwakili oleh Ibn Shalah dan
diikuti oleh jumhur muhaddisin, berpendapat bahwa hadist maudhu merupakan
bagian dari hadist da’if. Hanya saja, posisi tingkatan keda’ifannya berada pada
tingkat yang paling rendah, paling parah, serta paling rusak nilainya.
Kelompok kedua, diwakili oleh Ibn Hajar
Al-Asqalani, berpendapat bahwa hadis maudhu’ bukan termasuk hadist Nabi. Hal
ini karena pada dasarnya, hadist Nabi adalah segala apa yang berasal dari Nabi,
baik ucapan, perbuatan ataupun ketetapan, sedang hadist maudhu, bukan sesuatu
yang dating atau berasal dari Nabi, melaikan ucapan, perbuatan atau sikap yang
berasal dari seseorang, tapi dikatakan itu berasal dari Nabi.[14]
E.
Hukum
Meriwayatkan Hadist Palsu
Kaum muslimin sepakat bahwa memalsukan hadist hukumnya haram
secara mutlak. Akan tetapi ada sekelompok ulama yang membolehkan membuat hadist
palsu dalam hal yang berhubunagn dengan targih
wa tarhib, bukan yang berhubungan dengan pahala dan siksaan, dengan tujuan
menarik perhatian masyarakat untuk berbuat taat pada Allah SWT serta menjauhkan
diri dari berbuat maksiat. Namun pendapat ini tidak mempunyai dalil dan dasar
baik dalil naqli dan aqli. Rasul SAW sendiri telah memberikan ancaman keras
terhadap siapa saja yang memalsukan hadist.[15]
Jumhur ahli hadist juga berpendapat bahwa berdusta termasuk
dosa besar. Sehingga menolak semua hadist-hadist palsu. Bahkan Syeh Abu
Muhammad Al-Juwainiy mengkafirkan pemalsu hadist.
Semua hadist maudhu bathil lagi ditolak dan tidak bisa
dijadikan pegangan, karena merupakan kedustaan dan bantuan atas diri Rasulullah
SAW.[16]
مَنْ
حَدَّثَ عَنِّي بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ
“ Barangsiapa yang menceritakan dari saya satu perkataan
yang disangka dusta maka dia adalah salah satu pendusta.”
F.
Metode
Periwayatan Hadist Maudhu
Ada tiga metode metode proses pembentukan dan pembuatan
hadist maudhu :[17]
1. Dibentuk dari ucapan rawi pembuatnya
sendiri kemudian menyandarkan ucapan itu kepada Nabi Muhammad SAW, disertai
dengan klaim bahwa ucapannya itu adalah ucapan, perbuatan atau ketetapan Nabi.
2. Dibentuk dengan cara mengambil salah
satu ungkapan yang berasal dari sahabat, tabi’in, kemudian disandarkan kepada
Nabi Muhammad SAW.
G.
Ciri-ciri
Hadist Maudhu
Tanda-tanda kemaudhuan hadist, dapat dibagi kepada dua
bagian :
1. Tanda- tanda yang diperoleh pada sanad.
Banyak tanda-tanda kemaudhuan hadist pada sanad,
a. Pengakuan perawi sendiri
Seperti, pengakuan Abu Ismah Nuh bin Abi Maryam, bahwa ia
telah membuat hadist tentang fadilah-fadilah surat Al-Quran, atau pengakuan
Abdul Karim ibn Al-Auja yang telah membuat sekitar 400 buah hadist palsu,
diantaranya untuk mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.[18]
b. Kenyataan sejarah mereka tak mungkin
bertemu
Perawi yang meriwayatkan suatu hadist dari seorang syeh yang
nyata bahwa ia tidak pernah berjumpa dengan syeh itu, atau ia dilahirkan
sesudah syeh tersebut meninggal, atau tak pernah ia dating ke tempat syeh itu,
yang dia bilang disanalah ia mendengar hadist.[19]
c. Keadaan perawi-perawi sendiri serta
pendorong-pendorong yang mendorongnya kepada membuat hadist.
Yakni, dapat juga diketahui, bahwa hadist itu maudhu dengan
memperhatikan keadaan-keadaan Qarinah (indikasi) yang mengelilingi perawi kala
ia meriwayatkan hadist tersebut.[20]
2. Tanda-tanda pada Matan.
a. Terdapat kerancuan pada redaksi atau
susunan kalimat yang digunakan. Sehingga seseorang yang mempunyai pengetahuan
yang mendalam tentang bahasa Arab segera tahu bahwa redaksi tersebut tidak
mungkin datang dari Rasulullah, sebab Rasulullah itu seorang yang fashah atu
yang fasih berbahasa.[21]
b. Kerusakan Maknanya.[22]
ü Karena berlawanan makna hadist
dengan soal-soal yang mudah didapati akal dan tak dapat pula kita ta’wilkan.
ü Kerena berlawana dengan
undang-undang umum bagi akhlak, atau menyalahi kenyataan.
ü Karena berlawanan dengan ilmu-ilmu
kedokteran.
ü Karena menyalahi ketentuan-ketentuan
yang diteapkan akal terhadap Allah. Akal menetapkan, bahwa Allah suci dan tak
serupa dengan makhluk.
ü Kerena menyalahi undang-undang Allah
dalam menjadikan alam.
ü Karena mengandung dongeng-dongeng
yang tidak dibenarkan akal.
c. Menyalahi keterangan Al-Quran dan
sunnah mutawatir.
d. Menyalahi hakikat sejarah yang telah
terkenal dimasa Nabi SAW.
e. Sesuai hadist dengan mazhab yang
dianut oleh rawi, sedangkan rawi itu orang yang fanatik dengan mazhabnya.
f. Merangkan suatu pahala yang sangat
besar terhadap perbuatan yang sangat kecil, atau siksanya sangat besar, terhadap
suatu perbuatan yang kecil.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hadits
Maudhu’ adalah hadits yang bukan bersumber dari Nabi atau dengan kata lain
bukan hadits Rasul, tetapi perkataan atau perbuatan seseorang atau pihak-pihak
tertentu dengan suatu alasan yang kemudian dinisbatkan pada Rasul.
Apapun
alasan membuat hadits palsu, merupakan perbuatan tercela dan menyesatkan karena
bertentangan dengan sabda Rasulullah SAW
B. Kritik dan Saran
Demikianlah
makalah yang telah kami susun. Kritik dan saran yang bersifat membangun selalu
kami harapkan agar dapat kami jadikan sebagai pijakan dalam makalah-makalah
selanjutnya. Semoga makalah inidapat dapat bermanfaat dan dapat menambah pengetahuan
kita.
DAFTAR PUSTAKA
Hasramita, 2004.
Ulumul Hadist, STAIN Bukittinggi Press, Bukittinggi
Shiddiqi, Hasbi As-, 1974. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist, Bulan Bintang, Jakarta
Najib, Muhammad, 2001. Pergolakan
Politik Umat Islam dalam Kemunculan Hadist Maudhu, Pustaka Setia, Bandung
http://t4f5.wordpress.com/2009/01/25/hadits-maudhu-hadits-palsu/
[1]
Dr. Mohammad Najib, Pergolakan Politik
Umat Islam dalam Kemunculan Hadist Maudhu, CV Pustaka Setia, Bandung 2001,
h.37
[2]
Dr. Mohammad Najib, Pergolakan Politik
Umat Islam dalam Kemunculan Hadist Maudhu, CV Pustaka Setia, Bandung 2001,
h.42
[3]
Dr. Mohammad Najib, Pergolakan Politik
Umat Islam dalam Kemunculan Hadist Maudhu, CV Pustaka Setia, Bandung 2001,
h.43-44
[4] http://t4f5.wordpress.com/2009/01/25/hadits-maudhu-hadits-palsu/
[5]
Dra. Hasramita, SH. M.Ag, ‘Ulum Al Hadist,
STAIN Bukittinggi Press 2004, h. 178-179
[6]
Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadist, Bulan Bintang Jakarta 1974, h.246
[7]
Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadist, Bulan Bintang Jakarta 1974, h.248
[8]
Dra. Hasramita, SH. M.Ag, ‘Ulum Al
Hadist, STAIN Bukittinggi Press 2004, h. 181
[9]
Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadist, Bulan Bintang Jakarta 1974, h.251
[10]
Dra. Hasramita, SH. M.Ag, ‘Ulum Al
Hadist, STAIN Bukittinggi Press 2004, h.183
[11] Prof.
Dr. T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadist, Bulan Bintang Jakarta 1974, h.253
[12]
Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadist, Bulan Bintang Jakarta 1974, h.254
[13]
Dr. Mohammad Najib, Pergolakan Politik
Umat Islam dalam Kemunculan Hadist Maudhu, CV Pustaka Setia, Bandung 2001,
h.46
[14]
Dr. Mohammad Najib, Pergolakan Politik
Umat Islam dalam Kemunculan Hadist Maudhu, CV Pustaka Setia, Bandung 2001,
h.47
[15]
Dra. Hasramita, SH. M.Ag, ‘Ulum Al
Hadist, STAIN Bukittinggi Press 2004, h. 190-191
[16]
Dra. Hasramita, SH. M.Ag, ‘Ulum Al
Hadist, STAIN Bukittinggi Press 2004, h.191
[17]
Dr. Mohammad Najib, Pergolakan Politik
Umat Islam dalam Kemunculan Hadist Maudhu, CV Pustaka Setia, Bandung 2001,
h.57-58
[18]
Dra. Hasramita, SH. M.Ag, ‘Ulum Al
Hadist, STAIN Bukittinggi Press 2004, h.186
[19]
Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadist, Bulan Bintang Jakarta 1974, h.238
[20]
Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadist, Bulan Bintang Jakarta 1974, h.238
[21]
Dra. Hasramita, SH. M.Ag, ‘Ulum Al
Hadist, STAIN Bukittinggi Press 2004, h.187
[22]
Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadist, Bulan Bintang Jakarta 1974, h.238
Gambling 101: A Guide to Casino Games - Mapyro
BalasHapusCasino Games Overview Casino Games Overview. 익산 출장마사지 Players can 상주 출장안마 play for free or for real money at a 평택 출장안마 casino that 영주 출장마사지 offers various games for their 충주 출장안마