Langsung ke konten utama

Hadits Maudhu'


BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang Masalah
Faktor yang paling mendasar dari penyebab pentingnya penelitian terhadap riwayat adalah timulnya pemalsuan hadits dan banyaknya bermunculan hadits-hadits palsu. Kemunculan riwayat hadits palsu yang tersebar di masyarakat, menyulitkan masyarakat Islam yang ingin mengetahui riwayat yang dapat dipertanggungjawabkan.
Hadits-hadits maudhu’ yang beredar di masyarakat hampir menjadi tradisi, anutan dan pedoman beragama, bahkan dianggap sebagai hadits yang berasal dari Nabi. Kondisi demikian dapat mengacaukan, oleh karena itu penelitian terhadap hadits-hadits maudhu’ sebagai upaya untuk meluruskan pemahaman masyarakat merupakan suatu misi yang sangat penting untuk dilakukan.
2.      Rumusan Masalah.
Dalam makalah ini, kami akan mencoba membahas beberapa poin tentang hadits maudhu’, yaitu:
a.       Pengertian Hadits  Maudhu
b.      Sejarah Berkembangnya Hadits Maudhu
c.       Latar Belakang Munculnya Hadits Maudhu
d.      Status Hadits Maudhu
e.       Hukum Meriwayatkan Hadist Palsu
f.       Metode Periwayatan Hadist Maudhu
g.      Ciri-ciri Hadist Maudhu







BAB II
PEMBAHASAN

A.          Pengertian Hadist Maudhu
Pengertian hadist maudhu dapat dilihat dari dua pendekatan, yaitu pendekatan kebahasaan (etimologis) dan pendekatan keistilahan (terminologis). Kedua pendekatan ini perlu dilihat secara bersamaan tanpa mengabaikan pengertian salah satunya karena keduanya mempunyai keterkaitan yang erat dalam memahami hadis maudhu’ dalam konteks ilmu hadist.
1.            Pengertian Kebahasaan (Etimologi)
Secara bahasa, kata hadist maudhu merupakan bentu isim maf’ul dari kata dasarnya yaituوضع. kata وضع yang terdiri atas tiga huruf adalah suatu bangunan kata yang pada dasarnya menunjukkan arti  والحطﺔ الخفض , yang berarti menurunkan atau merendahkan (derajat)[1].
Meskipun demikian, bangunan kata al-maudhu ini secara kebahasaan memiliki beberapa konotasi makna yang berbeda-beda, tetapi mengarah pada suatu pengertian yang sama.
Beberapa konotasi makna itu di antaranya adalah berikut ini.
a.        الحطﺔ, yang mengandung arti menurunkan atau merendahkan derajat dan tidak memiliki dasar sama sekali untuk diangkat sebagai hujjah.
b.      الإسقاط , yang mengandung arti bahwa hadist maudhu adalah hadist yang gugur tidak boleh diangkat sebagai landasan istidlal.
c.       الإختلاق , yang mengandung arti hadist maudhu adalah hadist yang di buat-buat sebagai ucapan, perbuatan atau ketetapan yang berasal dari Nabi, padalah bukan berasal dari Nabi.
d.      الإلصاق , yang mempunyai arti bahwa hadist maudhu adalah hadist yang ditempelkan (diklaim) kepada Nabi agar dianggap berasal dari Nabi.
Makna bahasa ini terdapat pula dalam hadits maudhu karena: Rendah dalam kedudukannya. Jatuh/gugur ( tidak bisa diambil dasar hukum ). Dibuat-buat oleh perawinya. Disandarkan pada Muhammad shallallohu alaihi wa sallam sedang beliau tidak mengatakannya.
2.            Pengertian Keistilahan (Terminologis)
Pengertian hadist maudhu secara terminologis diberikan oleh para muhadsisin dengan redaksi yang berbeda beda, tetapi pada intinya mempunyai persamaan dalam hal prinsip makna yang mendasar.
a.       Umar bin Hasan Fallatah mengambil defenisi hadist maudhu, sebagaimna yang dinyatakan sebagai berikut:
الموضوع؛ الحديث المختلق المصنوع المكذوب على رسول ﷲ ص م عمدا أوخطأ               
Artinya :
“Hadist maudhu adalah hadist yang diciptakan dan dibuat-buat, yang bersifat dusta terhadap Rasulullah SAW.,di buat secara sengaja atau tidak sengaja.” [2]
b.      Imam As Sindi mengemukakan defenisi hadist maudhu sebagai berikut:
Artinya :
الوضع أن يكذب الراوى فى الحديث النبوي بأن يروي عنه ص م مالم يقله لفظا ولا معنا متعمد الذ الك.
“Al-Wadh’u (pendustaan riwayat) adalah usaha seorang rawi secara dusta dalam riwayat hadist Nabi SAW., dengan cara meriwayatka sesuatu dari Nabi Muhammad SAW., padalah Nabi sendiri tidak pernah mengucapkan ucapan itu, baik berupa lafaz maupun makna, yang dia lakukan secara sengaja.” [3]

B.           Sejarah Berkembangnya Hadist Maudhu
Para ahli berbeda pendapat dalam menentukan kapan mulai terjadinya pemalsuan hadits. Diantara pendapat-pendapat yang ada sebagai berikut:
1.      Menurut Ahmad Amin, bahwa hadits palsu terjadi sejak jaman Rasulullah Saw, beliau beralasan dengan sebuah hadits yang matannya
                            مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
Barangsiapa berdusta atas saya dengan sengaja maka tempatnya di neraka. ( Riwayat Bukhari- Muslim)
Menurutnya hadits tersebut menggambarkan kemungkinan pada zaman Rasulullah Saw. telah terjadi pemalsuan hadits. Akan tetapi pendapat ini kurang disetujui oleh H.Mudatsir didalam bukunya Ilmu Hadits, dengan alasan Ahmad Amin tidak mempunyai alasan secara histories, selain itu pemalsuan hadits dijaman Rasulullah Saw. tidak tercantum didalam kitab-kitab standar yang berkaitan dengan Asbabul Wurud. Dan data menunjukan sepanjang masa Rasulullah Saw. tidak pernah ada seorang sahabatpun yang sengaja berbuat dusta kepadanya.
2.      Menurut jumhur muhadditsin, bahwa hadits telah mengalami pemalsuan sejak jaman khalifah Ali bin Abi Thalib. Sebelum terjadi pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abu Sufyan, hadits masih bisa dikatakan selamat dari pemalsuan.[4]

C.           Latar Belakang Munculnya Hadist Maudhu
Berdasarkan faktor sejarah yang ada, pemalsuan hadist bukan saja dilakukan oleh orang yang beramaga Islam, tapi kegiatan ini juga dilakukan oleh orang yang bukan beragama Islam. Adapun faktor munculnya hadist palsu ini dapat diuraikan sebagai berikut:
1.            Faktor Pertentangan Politik
Pemerintahan pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib melahirkan perpecahan dikalangan umat Islam. Ini ditandai dengan munculnya golongan dengan afiliasi politik,. Perpecahan ini dilatarbelakangi oleh kepentingan politik sehingga mereka menghalalkan segala cara, seperti dengan cara membuat-buatr hadist yang pada hakikatnya bukan berasal dari Nabi, gunanya untuk menyakinkan umat akan kebenaran politik dan keutamaan pemimpin mereka.[5]
Golongan Syi’ah membuat hadist mengenai kekhalifahan Ali, yakni mengenai keutamaannya. Menurut Al Khalily dalam kitab Al Irsyad fi ‘Ulamil Bilad, para pemalsu hadist yang terdiri dari orang Parsi telah membuat hadist palsu sejumlah 300.000 hadist.[6]
Diantara hadist yang dibuat oleh golongan Syi’ah itu adalah :
1)      “Barang siapa ingin melihat kepada Adamtentang ketinggian ilmunya, ingin melihat Nuh tentang ketaqwaannya, ingin melihat kepada Ibrahim tentang kebaikan hatinya, ingin melihat kepada Musa tentang kehebatannya, ingin melihat kepada Isa tentang ibadahnya, maka hendaklah ia melihat kepada Ali.”
2)      “Apabila kamu melihat akan Mu’awiyah atas mimbarku, bunuhlah akan dia.”
Golongan yang fanatik kepada Mu’awiyah membuat pula hadist yang menerangkan keutamaannya. Mereka mendakwa bahwa Nabi bersabda :
”Orang kepercayaan hanya tiga orang saja, Saya (Nabi), Jibril dan Mu’awiyah.”[7]
2.            Faktor Zandaqah
Dimaksud dengan zandaqah, rasa dendam yang bergelimang dalam hati sanubari golongan yang tidak menyukai kebangunan Islam dan kejayaan pemerintahannya. Mereka tidak mungkin dapat melampiaskan kebencian melalui konfrontasi (pemberontakan) dan pemalsuan Al Quran, maka cara yang paling tepat dan memungkinkan adalah melalui  pemalsuan hadist, dengan tujuan menghancurkan agama Islam dari dalam.
Hamad bin Zaid berpendapat bahwa orang-orang zindik memalsukan sebanyak 14.000 hadist. Ibnu Adi berkata bahwa Abdul Karim bin ‘Abul Auja’ ketika ditangkap dan dihadapkan kepada Muhammad ibn Sulaiman ibn Ali yang kemudian di potong lehernya berkata, “ Demi Allah aku telah memalsukan hadist kepada kalian sebanyak 4000 hadist untuk mengharamkan yang halal dan menhalalkan yang haram.”[8]
Diantara hadist maudhu yang mereka buat dan sebarkan adalah:
1)      “Melihat atau memandang kepada muka yang indah, adalah ibadah.”
2)      “Buah terong itu penawar bagi segala penyakit.”

3.            Faktor Ashabiyah
Yakni, fanatik kebangsaan, kekabilahan, kebahasaan dan keimanan. Mereka membuat hadist palsu karena didorong oleh sifat ego dan fanatik buta serta ingin menonjolkan suatu kelompok bangsa atau yang lainnya.
a.       Mereka yang fanatik kepada bangsa Parsi membuat hadist,
“Bahwasanya Allah apabila marah menurunkan wahyu dengan bahasa Arab dan apabila ridha menurunkan wahyu dengan bahasa Parsi.”
b.      Mereka yang fanatik dengan bangsa Arab membuat hadist.
“ Bahwasanya Allah apabila marah menurunkan wahyu dengan bahasa Parsi dan apabila ridha menurunkan wahyu dengan bahasa Arab.”
c.       Mereka yang fanatik kepada Abu Hanifah, membuat hadist,
“Akan ada seorang lelaki dari umatku yang dinamai Abu Hanifah An Nu’man ibn Tsabit; dialah pelita umatku.”[9]
4.            Faktor Perselisihan dalam Ilmu Fiqh dan Ilmu Kalam
Pengikut-pengikut mazhab ilmu fiqih dan ilmu kalam mempunyai pandangan picik dan fanatik dalam berbagai hal, dan untuk menguatkan mazhab yang mereka anut mereka tidak segan-segan untuk membuat hadist palsu.[10]
Contoh hadist palsu dibidang ilmu fiqh[11]
“Barang siapa yang mengangkat dua tangan pada ruku’, tak adalah shalat baginya.”(fanatik pada mazhab Abu Hanifah).
“Aku berimam kepada jibril di sisi Ka’bah, maka ia menyaringkan Bismillahirrahmanirrahim.”(fanatik pada mazhab Syafi’i)
Contoh hadist palsu dibidang ilmu kalam
“Barang siapa yang mengatakan bahwa Alqur’an itu makhluk, kufur(kafirlah) ia.”
5.            Faktor Menjilat Penguasa
Ulama-ulama Su’ membuat hadist palsu untuk membenarkan perbuatan-perbuatan para penguasa sehingga dari perbuatannya tersebut mereka mendapat upah dengan diberi kedudukan atau harta. Diantara pemalsu tersebut adalah Ghiyats ibn Ibrahim.[12]
D.          Status Hadist Maudhu
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan status hadist maudhu apakah merupakanbagian dari hadist atau bukan. Pertentangna pendapat ini sangnat berkait erat dengan definisi hadist maudhu yang dirumuskan oleh para ulama muhaddisin, yaitu sebagai hadist yang mengandung unsur yang dibuat-buat, dusta, dengan cara sengaja atau tidak sengaja.[13]
Dalam hal ini terdapat dua pendapat, diantaranya:
Kelompok pertama, yang diwakili oleh Ibn Shalah dan diikuti oleh jumhur muhaddisin, berpendapat bahwa hadist maudhu merupakan bagian dari hadist da’if. Hanya saja, posisi tingkatan keda’ifannya berada pada tingkat yang paling rendah, paling parah, serta paling rusak nilainya.
Kelompok kedua, diwakili oleh Ibn Hajar Al-Asqalani, berpendapat bahwa hadis maudhu’ bukan termasuk hadist Nabi. Hal ini karena pada dasarnya, hadist Nabi adalah segala apa yang berasal dari Nabi, baik ucapan, perbuatan ataupun ketetapan, sedang hadist maudhu, bukan sesuatu yang dating atau berasal dari Nabi, melaikan ucapan, perbuatan atau sikap yang berasal dari seseorang, tapi dikatakan itu berasal dari Nabi.[14]

E.           Hukum Meriwayatkan Hadist Palsu
Kaum muslimin sepakat bahwa memalsukan hadist hukumnya haram secara mutlak. Akan tetapi ada sekelompok ulama yang membolehkan membuat hadist palsu dalam hal yang berhubunagn dengan targih wa tarhib, bukan yang berhubungan dengan pahala dan siksaan, dengan tujuan menarik perhatian masyarakat untuk berbuat taat pada Allah SWT serta menjauhkan diri dari berbuat maksiat. Namun pendapat ini tidak mempunyai dalil dan dasar baik dalil naqli dan aqli. Rasul SAW sendiri telah memberikan ancaman keras terhadap siapa saja yang memalsukan hadist.[15]
Jumhur ahli hadist juga berpendapat bahwa berdusta termasuk dosa besar. Sehingga menolak semua hadist-hadist palsu. Bahkan Syeh Abu Muhammad Al-Juwainiy mengkafirkan pemalsu hadist.
Semua hadist maudhu bathil lagi ditolak dan tidak bisa dijadikan pegangan, karena merupakan kedustaan dan bantuan atas diri Rasulullah SAW.[16]
                  مَنْ حَدَّثَ عَنِّي بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ
“ Barangsiapa yang menceritakan dari saya satu perkataan yang disangka dusta maka dia adalah salah satu pendusta.”

F.            Metode Periwayatan Hadist Maudhu
Ada tiga metode metode proses pembentukan dan pembuatan hadist maudhu :[17]
1.      Dibentuk dari ucapan rawi pembuatnya sendiri kemudian menyandarkan ucapan itu kepada Nabi Muhammad SAW, disertai dengan klaim bahwa ucapannya itu adalah ucapan, perbuatan atau ketetapan Nabi.
2.      Dibentuk dengan cara mengambil salah satu ungkapan yang berasal dari sahabat, tabi’in, kemudian disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.

G.          Ciri-ciri Hadist Maudhu
Tanda-tanda kemaudhuan hadist, dapat dibagi kepada dua bagian :
1.      Tanda- tanda yang diperoleh pada sanad.
Banyak tanda-tanda kemaudhuan hadist pada sanad,
a.       Pengakuan perawi sendiri
Seperti, pengakuan Abu Ismah Nuh bin Abi Maryam, bahwa ia telah membuat hadist tentang fadilah-fadilah surat Al-Quran, atau pengakuan Abdul Karim ibn Al-Auja yang telah membuat sekitar 400 buah hadist palsu, diantaranya untuk mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.[18]
b.      Kenyataan sejarah mereka tak mungkin bertemu
Perawi yang meriwayatkan suatu hadist dari seorang syeh yang nyata bahwa ia tidak pernah berjumpa dengan syeh itu, atau ia dilahirkan sesudah syeh tersebut meninggal, atau tak pernah ia dating ke tempat syeh itu, yang dia bilang disanalah ia mendengar hadist.[19]
c.       Keadaan perawi-perawi sendiri serta pendorong-pendorong yang mendorongnya kepada membuat hadist.
Yakni, dapat juga diketahui, bahwa hadist itu maudhu dengan memperhatikan keadaan-keadaan Qarinah (indikasi) yang mengelilingi perawi kala ia meriwayatkan hadist tersebut.[20]
2.      Tanda-tanda pada Matan.
a.       Terdapat kerancuan pada redaksi atau susunan kalimat yang digunakan. Sehingga seseorang yang mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang bahasa Arab segera tahu bahwa redaksi tersebut tidak mungkin datang dari Rasulullah, sebab Rasulullah itu seorang yang fashah atu yang fasih berbahasa.[21]
b.      Kerusakan Maknanya.[22]
ü  Karena berlawanan makna hadist dengan soal-soal yang mudah didapati akal dan tak dapat pula kita ta’wilkan.
ü  Kerena berlawana dengan undang-undang umum bagi akhlak, atau menyalahi kenyataan.
ü  Karena berlawanan dengan ilmu-ilmu kedokteran.
ü  Karena menyalahi ketentuan-ketentuan yang diteapkan akal terhadap Allah. Akal menetapkan, bahwa Allah suci dan tak serupa dengan makhluk.
ü  Kerena menyalahi undang-undang Allah dalam menjadikan alam.
ü  Karena mengandung dongeng-dongeng yang tidak dibenarkan akal.
c.       Menyalahi keterangan Al-Quran dan sunnah mutawatir.
d.      Menyalahi hakikat sejarah yang telah terkenal dimasa Nabi SAW.
e.       Sesuai hadist dengan mazhab yang dianut oleh rawi, sedangkan rawi itu orang yang fanatik dengan mazhabnya.
f.       Merangkan suatu pahala yang sangat besar terhadap perbuatan yang sangat kecil, atau siksanya sangat besar, terhadap suatu perbuatan yang kecil.
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Hadits Maudhu’ adalah hadits yang bukan bersumber dari Nabi atau dengan kata lain bukan hadits Rasul, tetapi perkataan atau perbuatan seseorang atau pihak-pihak tertentu dengan suatu alasan yang kemudian dinisbatkan pada Rasul.
Apapun alasan membuat hadits palsu, merupakan perbuatan tercela dan menyesatkan karena bertentangan dengan sabda Rasulullah SAW

B.     Kritik dan Saran
Demikianlah makalah yang telah kami susun. Kritik dan saran yang bersifat membangun selalu kami harapkan agar dapat kami jadikan sebagai pijakan dalam makalah-makalah selanjutnya. Semoga makalah inidapat dapat bermanfaat dan dapat menambah pengetahuan kita.














DAFTAR PUSTAKA

Hasramita, 2004. Ulumul Hadist, STAIN Bukittinggi Press, Bukittinggi

Shiddiqi, Hasbi As-, 1974. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist, Bulan Bintang, Jakarta

Najib, Muhammad, 2001. Pergolakan Politik Umat Islam dalam Kemunculan Hadist Maudhu, Pustaka Setia, Bandung

http://t4f5.wordpress.com/2009/01/25/hadits-maudhu-hadits-palsu/





           


   










[1] Dr. Mohammad Najib, Pergolakan Politik Umat Islam dalam Kemunculan Hadist Maudhu, CV Pustaka Setia, Bandung 2001, h.37
[2] Dr. Mohammad Najib, Pergolakan Politik Umat Islam dalam Kemunculan Hadist Maudhu, CV Pustaka Setia, Bandung 2001, h.42
[3] Dr. Mohammad Najib, Pergolakan Politik Umat Islam dalam Kemunculan Hadist Maudhu, CV Pustaka Setia, Bandung 2001, h.43-44
[4] http://t4f5.wordpress.com/2009/01/25/hadits-maudhu-hadits-palsu/
[5] Dra. Hasramita, SH. M.Ag, ‘Ulum Al Hadist, STAIN Bukittinggi Press 2004, h. 178-179
[6] Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist, Bulan Bintang Jakarta 1974, h.246
[7] Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist, Bulan Bintang Jakarta 1974, h.248
[8] Dra. Hasramita, SH. M.Ag, ‘Ulum Al Hadist, STAIN Bukittinggi Press 2004, h. 181
[9] Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist, Bulan Bintang Jakarta 1974, h.251
[10] Dra. Hasramita, SH. M.Ag, ‘Ulum Al Hadist, STAIN Bukittinggi Press 2004, h.183
[11] Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist, Bulan Bintang Jakarta 1974, h.253
[12] Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist, Bulan Bintang Jakarta 1974, h.254
[13] Dr. Mohammad Najib, Pergolakan Politik Umat Islam dalam Kemunculan Hadist Maudhu, CV Pustaka Setia, Bandung 2001, h.46
[14] Dr. Mohammad Najib, Pergolakan Politik Umat Islam dalam Kemunculan Hadist Maudhu, CV Pustaka Setia, Bandung 2001, h.47
[15] Dra. Hasramita, SH. M.Ag, ‘Ulum Al Hadist, STAIN Bukittinggi Press 2004, h. 190-191
[16] Dra. Hasramita, SH. M.Ag, ‘Ulum Al Hadist, STAIN Bukittinggi Press 2004, h.191
[17] Dr. Mohammad Najib, Pergolakan Politik Umat Islam dalam Kemunculan Hadist Maudhu, CV Pustaka Setia, Bandung 2001, h.57-58
[18] Dra. Hasramita, SH. M.Ag, ‘Ulum Al Hadist, STAIN Bukittinggi Press 2004, h.186

[19] Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist, Bulan Bintang Jakarta 1974, h.238
[20] Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist, Bulan Bintang Jakarta 1974, h.238
[21] Dra. Hasramita, SH. M.Ag, ‘Ulum Al Hadist, STAIN Bukittinggi Press 2004, h.187
[22] Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist, Bulan Bintang Jakarta 1974, h.238

Komentar

  1. Gambling 101: A Guide to Casino Games - Mapyro
    Casino Games Overview Casino Games Overview. 익산 출장마사지 Players can 상주 출장안마 play for free or for real money at a 평택 출장안마 casino that 영주 출장마사지 offers various games for their 충주 출장안마

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tasawuf Amali

BAB I PENDAHULUAN Hasrat untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah tujuan utama dari sufi dan merupakan keinginan yang manusiawi. Sejalan dengan semakin berkembangnya tasawuf, maka orang yang ingin mendekatkan diri kepada Tuhan smakin banyak pula. Tinjauan analitis terhadap tasawuf menunjukkan bahwa para sufi dengan berbagai aliran yang dianutnya memiliki konsepsi tentang jalan ( thariqat ) menuju Allah. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniyah ( riyadhah ), lalu secara bertahap menempuh fase yang dikenal dengan maqam (tingkatan) dan hal (keadaan). Tingkat pengenalan ma’rifat adalah jargon yang pada umumnya dikejar oleh para sufi. Lingkup perjalanan para sufi untuk memperoleh ma’rifat ini sering juga disebut kerangka ‘Irfani. Rumusan masalah. a.        Apa itu Tasawuf Amali? b.       Apa saja istilah-istilah yang terdapat dalam tasawus amali? c.        Bagaimana tingkatan dan keadaan para sufi? d.       Siapa saja tokoh tasawuf amali ?

KONSTITUSI DAN TATA PERUNDANG UNDANGAN INDONESIA

KONSTITUSI DAN TATA PERUNDANG UNDANGAN INDONESIA     A.    Pengetian Konstitusi Konstitusi berasal dari bahasa Perancis “ constituer” yang akan berarti membentuk. Maksud dari istilah tersebut ialah pembentukan, penyusunan, atau pernyataan akan suatu Negara. Dalam bahasa latin, ”konstitusi” merupakan gabungan dua kata, yakni cume berarti ”bersama dengan…” dan statuere berarti ”membuat sesuatu agar berdiri atau mendirikan, menetapkan sesuatu”. Istilah konstitusi ( constitution ) dalam bahasa Inggris, memiliki makna yang lebih luas dari pada Undang-Undang Dasar, yakni konstitusi adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang secara mengikat cara-cara bagaimana suatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat. Konstitusi menurut Miriam Budiardjo adalah suatu piagam yang menyatakan cita-cita bangsa dan merupakan dasar organisasi kenegaraan suatu bangsa. Sedangkan Undang- Undang dasar merupakan bagian tertulis dalam konstit