BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Teks al-Qur'an adalah wahyu Allah yang tidak akan berubah
oleh campur tangan manusia, tapi pemahaman terhadap al-Qur'an tidak tetap, selalu
berubah sesuai dengan kemampuan orang yang memahami isi kandungan al-Qur'an itu
dalam rangka mengaktualkannya dalam bentuk konsep yang bisa dilaksanakan.
Sepeninggal Rasulullah saw, umat Islam banyak menemukan
kesulitan
karena meskipun mereka mengerti bahasa Arab, al-Qur'an terkadang mengandun isyarat-isyarat yang belum bisa dijangkau oleh pikiran orang-orang Arab. Oleh karena itu mereka membutuhkan tafsir yang bisa membimbing dan menghantarkan mereka untuk memahami isyarat-isyarat seperti itu.
karena meskipun mereka mengerti bahasa Arab, al-Qur'an terkadang mengandun isyarat-isyarat yang belum bisa dijangkau oleh pikiran orang-orang Arab. Oleh karena itu mereka membutuhkan tafsir yang bisa membimbing dan menghantarkan mereka untuk memahami isyarat-isyarat seperti itu.
Salah satu cara yang mereka
ambil dalam menafsirkan Al Quran yaitu bertanya kepada ahli kitab, yaitu kaum Yahudi dan
Nashrani. Hal itu mereka lakukan lantaran sebagian masalah dalam Al-Qur'an
memiliki persamaan dengan yang ada dalam kitab suci mereka, terutama berbagai tema
yang menyangkut umat-umat terdahulu. Penafsiran seperti ini terus berkembang
sejalan dengan
perkembangan pemikiran manusia dan kebutuhannya akan urgensi al-Qur'an
perkembangan pemikiran manusia dan kebutuhannya akan urgensi al-Qur'an
B.
Rumusan
Masalah
Adapun dalam makalah ini akan membahas tentang dua tema dari
Tafsir Israiliiyat, yaitu:
1. Pengertian Tafsir Israiliyyat
2. Sebab-sebab munculnya Tafsir Israiliyyat
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Israiliyyat
Ditinjau dari segi
bahasa, kata “Israiliyyat”(bentuk
jamak dari kata إسرائيليات
/Isariliyyah) mempunyai arti “hamba tuhan”, nama lain dari nabi Ya’kub
a.s. Para ahli berpendapat bahwa ungkapan Bani Israil dalam Al Qur’an, seperti
surat Al maidah ayat 78, Al Isra’ ayat 2 dan 4 dan An Naml ayat 76, merujuk
pada keturunan Nabi Ya’kub yang kemudian dikenal dengan nama Yahudi. Dalam
sejarah disebutkan bahwa Ya’kub dikarunia 12 orang anak. Salah satu putranya
yang menonjol bernama Yahuda yang kemudian dijadikan sebutan bagi keturunan
Nabi Ya’kub.[1]
Sehubungan dengan
defenisi Israiliyyat secara istilah, para ulama berbeda pendapat tentang
defenisi Israiliyyat yang mereka kemukakan.
1. Husein
Adz-Dzahabi
لفظ إسرائيليات وإن کان يدل
بظاهرها على لون اليهود للتفسير وما كان لثقافةاليهود من أثرظهرفيه، الا أنانريد
ما هو اوسع من ذلك وأشمل، فنريد مايعم اللون اليهودي واللون النصراني للتفسير، وما
تأثربه التفسير من الثقا فتين اليهودية. “ walaupun makna lahiriah dari Israiliyyat berarti pengaruh
pengaruh kebudayaan Yahudi terhadap penafsiran Al Qur’an, kami
mendefenisikannya lebih luas dari itu, yaitu pengaruh kebudayaan Yahudi dan
Nasrani terhadap Tafsir.”[2]
Defenisi lain Israiliyyat yang
dikemukakan Adz Dzahabi ialah :
a. Kisah
dan dongeng kuno yang disusupkan dalam tafsir dan hadits yang asal
periwayatannya kembali kepada sumbernya, yaitu : Yahudi dan Nasrani.
b. Cerita-cerita
yang sengaja diselundupkan oleh musuh-musuh Islam kedalam tafsir dan hadits
yang sama sekali tidak dijumpai dasarnya dalam sumber-sumber lama.
2. Sayyid
Ahmad Khalid
خمع مفراده إسرائيلية،
والمفرادبها المرويات عن أهل الكتاب سواء أكان ما روي منها مما يتعلق بأديانهم أم
لاصلة له بهذه الأديان وإنما روي عن طريقهم إذ أن أغلب الرواةلهذه المرويات كانو
من اليهود دخلوا فى الإسلام. ”Israiliyyat
adalah riwayat-riwayat yang berasal dari ahli kitab, baik yang berhubungan
dengan agama mereka ataupun yang tidak ada hubungannya sama sekali dengannya.
Penisbatan riwayat Israiliyyat kepada orang-orang Yahudi karena pada umumnya
para perawinya berasal dari kalangan mereka yang sudah masuk Islam.”[3]
3. Asy
Syarbasi
الإ إسرائيليات هي القصص
والأخبار اللتي دسها اليهود على الإسلام مإن اليهود قد تنقلوا في المجتمع الإسلامي
وبثوا فيه مابثوا من قصصهم ومفترياتهم، وشرب بعض المفتريات الأخر من غير اليهود
ولكن أكثرالمفتريات كان من جهه اليهود
“Israiliyyat adalah kisah-kisah dan
berita-berita yang berhasil diselundupkan oleh orang-orang Yahudi kedalam
Islam. Kisah-kisah dan kebohongan mereka kemudian diserao oleh umat Islam.
Selain dari Yahudi, mereka pun menyerapnya dari yang lainnya.”[4]
4. Abu
Syuhbah
الإسرائيليات .... ماكان من
معارف اليهود، وماكان من معارف النصارى
التى تدور حول الأناجيل وشروحها، والرسل ونحوها وغير ذلك.
“Israiliyyat
adalah pengetahuan-pengaetahuan (ma’rif) yang berasal dari Yahudi dan Nasrani
yang terdapat pada kitab injil, penjelasan-penjelasan injil, kisah-kisah para
Nabi, dan yang lainnya.”[5]
5. ‘Abdullah
‘Ali Ja’far
الإسرائيليات هي معلومات أهل
الكتاب التى فسرت بها نصوص قرانية او حديثية. “Israiliyyat adalah informasi-informasi (maklumat) yang berasal
dari kata ahli kitab yang menjelaskan nash-nash Al Quran atau Hadits.[6]
6. Amin
Al Khuli
“Israiliyyat
merupakan pembauran dari berbagai Agama dan kepercayaan yang merembes ke
jazirah Arab.”[7]
Disamping berbeda dari
segi redaksi, defenisi- defenisi di atas bebeda pula dari segi isi. Perbedaan
itu terutama dalam hal materi dam sumber Israiliyyat.
Para ulama tersebut sepakat bahwa Israiliyyat
berisi unsur-unsur dari luar yang masuk kedalam Islam, tetapi mereka
berbeda pendapat tentang jenis materinya. Diantara mereka ada yang menyebutkan
secara umum,yang dapat berupa apa saja, sebagai mana yang tercermin dalam
pendapat Ahmad Khalil, Asy Syarbasi, Abdullah Ali Ja’far dan Abu Syuhbah.
Ada pula yang
menyebutkan secara khusus, yang berupa kisah-kisah, dongeng-dongeng dan
khurafat-khurafat yang disebutkan oleh Adz Dzahabi dalam defenisi pertama.
Namun dalam defenisinya yang lain, Adz Dzahabi menyatakan bahwa materi Israiliyyat dapat berupa akidah, hukum
dan kisah-kisah.
B. Sebab-sebab
Munculnya Israiliyyat
Menurut
Adz Dzahabi salah satu sumber tafsir Al Qur’an pada masa sahabat adalah ahli
kitab (Yahudi dan Nasrani). Pendapat ini didasarkan atas fakta sejarah bahwa
sementara tokoh-tokoh mufasir Al Qur’an pada masa itu ada yang bertanya dan
menerima keterangan-keterangan dari tokoh-tokoh ahli kitab yang telah masuk
Islam, untuk menafsirkan ayat-ayat tertentu dalam Al Qur’an[8]
Berdasarkan
pendapat ini, masuknya Israiliyyat dalam penafsiran Al Qur’an sudah mulai sejak
masa sahabat, yaitu sesaat setelah Rasulullah wafat. Jika dikaji faktor-faktor
apa saja yang membelatarbelakangi tindakan para sahabat tersebut, dapat
dikatergorikan dalam dua aspek terbesar, kultural dan structural pada masa itu.
Yang
termasuk dalam aspek kultural, antara lain dapat dikemukakan sebagai berikut :
a. Secara
umum kebudayaan bangsa Arab, baik sebelum maupun pada masa lahirnya Agama
Islam, relative lebih rendah ketimbang kebudayaan ahli kitab, karena kehidupan
mereka yang nomad dan buta huruf.
Meskipun pada umumnya ahli kitab di Arabia juga tak terlepas dari kehidupan nomad mereka, nammun mereka relative
lebih mempunyai ilmu pengetahuan, khususnya tenteng sejarah masa lalu seperti
di ketahui oleh umumnya ahli kitab waktu itu. Oleh karena itu, wajar adanya
kecendrungan kebudayaan yang rendah menyerap kebudayaan yang lebih tinggi jika
keduanya bertemu dalam suatu dimensi ruang dan waktu tertentu.[9]
b. Isi
Al Qur’an diantaranya mempunyai titik-titik persamaan dengan isi kitab-kitab
terdahulu seperti taurat dan injil yang dipegang oleh ahli kitab pada masa itu,
terutama pada cerita-cerita para nabi dan rasul terdahulu yang berbeda dalam
penyajiannya. Pada umumnya, Al Qur’an menyajikan secara ijaz, sepotong-sepotong disesuaikan dengan kondisi, sebagai nasehat
dan pelajaran bagi kaum muslimin. Sedangkan dalam kitab suci ahli kitab
penyajiannya agak lengkap seperti dalam penulisan sejarah. Oleh karena itu
wajar jika ada kecendrungan untuk melengkapi isi cerita dalam Al Qur’an dengan
bahan cerita yang sama dari sumber kebudayaan ahli kitab.[10]
c. Adanya
beberapa hadits Rasulullah yang dapat dijadikan sandaran oleh para sahabat
untuk menerima dan meriwayatkan sesuatu yang bersumber dari ahli kitab,
meskipun dalam batas-batas tertentu yang dapat dipergunakan untuk menafsirkan
Al Qur’an.[11]
Contoh :
“Sampaikannlah dariku
walau hanya satu ayat. Dan ambillah riwayat dari Bani Israil, tanpa halangan,
dan barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka bersiap-siaplah
untuk mengambil tempatnya di neraka” (HR. Bukhari)[12]
Sedangkan dari aspek
struktural dapat dikemukakan antara lain :
a. Struktur
pemukiman penduduk Arabia waktu itu, dimana kaum Ahli kitab memiliki pemukiman
yang berbaur dengan penduduk asli sejak lama. Menurut sejarah, terjadinya
perpindahan penduduk ahli kitab dari daerah Syam ke Arabia diawali sejak tahun
70 M. mereka memasuki Arabia melepaskan diri dari keganasan kaisar Titus dari
Romawi yang telah membakar habis bait Al Maqdis. Malah pada waktu Madinah sudah
menjadi ibu kota Negara yang dipimpin Rasulullah SAW., bangsa Yahudi memiliki
pemukiman-pemukiman disekitar kota. Adanya pembauran pemukiman ini dengan
sendirinya membawa kepada adanya pembauran dibidang kebudayaan.[13]
b. Adanaya
rute perdagangan bangsa Arab khususnya bangsa Quraisy yang bepusat di Mekah
sejak masa jahiliyyah ke utara dan selatan pada musim-musim tertentu,
mengakibatkan pertemuan mereka dengan orang-orang ahli kitab di ujung rute-rute
perdagangan tersebut. Hal ini memungkinkan adanya pengaruh kebudayaan ahli
kitab kepada kebudayaan bangsa Arab.[14]
c. Struktur
sosial umat Islam sejak masa Rasulullah, termasuk di dalamnya orang-orang ahli
kitab yang telah menganut agama Islam. Malah diantara tokoh-tokoh mereka
dikalangan ahli kitab itu mendapat kehormatan pula dalam masyarakat Islam.
Sangatlah wajar apabila para sahabat menggunakan ilmu pengetahuan mereka yang
lebih tinggi tentang cerita-cerita para nabi dikalangan bani Israil juga ada
dikalangan masyarakat Islam sendiri, untuk memperjelas bagian-bagian tertentu
dari cerita-cerita yang ada dalam Al Qur’an[15]
Meskipun
diantara mufasirin pada masa sahabat ada yang mengambil sumber dari ahli kitab
dalam menafsirkan Al Qur’an, jumlahnya masih sedikit sekali dan hanya dalam
batas-batas kebolehan yang digariskan Rasulullah berdasarkan hadits yang mereka
pegang. Misalnya, mereka tidak menanyakan dari sumber itu tentang masalah hukum
dan akidah. Mereka hanya menanyakan penjelasan terhadap cerita-cerita dalam Al
Quran yang bersifat mujmal. Mereka
tidak menerima penjelasan ahli kitab yang bertentangan dengan hukum dan akidah
yang dan akidah yang ditetapkan.
Sedangkan
pada masa tabi’in makin banyak kalangan ahli kitab yang memeluk Agama Islam,
dan makin besar kecendrungan para mufasirin masa itu untuk mengambil Israiliyyat, maka sumber ahli kitab
makin banyak dipergunakan. Bahkan pada masa itu, mereka kurang memperhatikan
kebenaran sumber dan isinya, sehingga bercampur antara yang hak dan yang bathil
serta yang logis dan tidak logis. Diantara mereka adalah Muqatil Ibn Sulaiman
dan Muhammad Ibn Ishaq. Meskipun kedua karya mufasirin itu tidak ditemukan
sampai sekarang, namun kemudian datang Ibn Jarir Ath Thabari yang banyak
mengambil riwayat dari mereka dan memasukkannya dalam kitab tafsirnya.
Para
mufasir tidak mengoreksi secara kritis lebih dahulu kutipan cerita-cerita Israiliyyat itu, padahal diantaranya
terdapat yang tidak benar dan bathil. Karena itu orang yang membaca kitab-kitab
tafsir mereka hendaknya meninggalkan apa yang tidak berguna dan tidak mengutip
kembali kecuali tentang hal-hal yang memang sangat diperlukan dan telah
terbukti keshahihannya, baik dari sisi riwayat dan isinya.[16]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Metode yang dipakai al-Qur’an dalam menceritakan umat-umat
terdahulu memang tidak bersifat rinci dan detil. Al-Qur’an tidak mengulas
secara runut nama-nama tokoh, tempat dan waktu kejadian atau bagian lain dari
cerita tersebut. Karena al-Qur’an memang bukan buku cerita yang memaparkan
setiap episodenya dengan rinci. Akan tetapi tujuan al-Qur’an mengangkat sebuah
kisah lebih kepada pelajaran (ibrah) dan nilai-nilai yang bisa terwujud
dengan pemaparan tersebut. Firman
Allah SWT.:
“sesungguhnya pada
kisah-kisah mereka ada terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.
Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dbuat-buat, akan tetapi membenarkan
(kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu dan sebagai
petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman”(Yusuf /12:111)
masuknya
Israiliyyat dalam penafsiran Al Qur’an sudah mulai sejak masa sahabat, yaitu
sesaat setelah Rasulullah wafat. Jika dikaji faktor-faktor apa saja yang
membelatarbelakangi tindakan para sahabat tersebut, dapat dikatergorikan dalam
dua aspek terbesar, kultural dan structural pada masa itu.
B. Kritik
dan Saran
Demikian makalah ini telah kami
buat dengan kesungguhan hati, namun kami menyadari dalam penulisan makalah ini
masih terdapat kelemahan dan kekurangannya. Untuk itu kritik dan saran yang
bersifat membangun sangat kami harapkan demi sempurnanya makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Anwar,
Rosihon. . Melacak
Unsur-unsur Isarailiyyat dalam Tafsir Ath thabari
dan Tafsir Ibnu Katsir. Bandung : CV
Pustaka Setia.
El-Mazni,
Aunur Rafiq. 2006. Syaikh Manna’ Al-Qathan Pengantar
Studi Ilmu Al-Qur’an.
Jakarta Timur : Pustaka Al Kautsar.
Syafe’I, Rachmat. . Pengantar
Ilmu Tafsir. Bandung : Pustaka Setia
[1]
Drs. Rosihon Anwar, M. Ag, Melacak
Unsur-unsur Isarailiyyat dalam Tafsir Ath thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, CV
Pustaka Setia, Bandung, , hal.
21
[2]
Ibid. hal. 22-23
[3]
Ibid, hal. 23-24
[4]
Ibid, hal. 24-25
[5]
Ibid, hal. 26
[6]
Ibid, hal. 27
[7]
Ibid, hal. 27
[8]
Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’I, MA, Pengantar
Ilmu Tafsir, Pustaka Setia, Bandung, , hal. 107
[9]
Ibid, hal 107-108
[10]
Ibid, hal. 108
[11]
Ibid, hal. 108
[12]
H. Aunur Rafiq El-Mazni, Lc. MA, Syaikh
Manna’ Al-Qathan Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Pustaka Al-Kautsar,
Jakarta Timur, 2006 ,hal. 444
[13] Syafe’i,
Log.cit hal. 108
[14]
Ibid, hal. 109
[15]
Ibid, hal. 109
[16]
El-Mazni, Op.cit, hal. 445
Komentar
Posting Komentar