Langsung ke konten utama

Shalat Sunnah


BAB I
PENDAHULUAN
Shalat adalah ibadah yang wajib dilakukan oleh setiap mukmin yang telah baligh dan berakal dan harus dilaksanankan dalam kondisi yang bagaimanapun dan dimanapun  kita berada.
 Shalat merupkan rukun Islam yang kedua setelah syahadat. Islam didirikan atas lima sendi (tiang) salah satunya adalah shalat, sehingga barang siapa yang mendirikan shalat, maka dia telah mendirikan agama, dan barang siapa yang meninggalkan shalat, maka ia meruntuhkan agama (Islam).
Secara garis besar yang akan kami bahas dalam makalah ini adalah berkenaan tentang:
a.        Shalat Safar.
b.       Shalat istisqa’.
c.        Shalat qadha.
d.       dan shalat dua hari raya (idain).









BAB II
PEMBAHASAN
A.    Shalat Safar (shalat dalam perjalanan).
1.      Qashar
a.       Mengqashar shalat yang empat rakaat.
Selama berpergian, orang Islam disyariatkan dan dibolehkan untuk mengqashar shalat. Hal ini ditetapkan berdasarkan dalil Al-Quran:
Allah SWT berfirman:
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِى الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوٓا،،                                       
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir,,” {QS. An-Nisa’ (4) : 101 }
Ya’la bin Umayyah bercerita: Aku pernah bertanya pada Umar mengenai ayat yang artinya, “maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat (mu), jika kamu takut di serang orang-orang kafir” sementara sekarang ini orang-orang berada dalam keadaan aman?” Umar menjawab, “ Aku dahulu juga heran sebagaimana keheranan dirimu, kemudian aku tanyakan kepada Rasullullah dan beliau menjawab: itu adalah sedekah yang Allah berikan kepada kalian, maka terimalah sedekah-Nya.” [1]
Kebolehan mengqashar shalat dalam perjalanan juga sudah menjadi kesepakatan segenap ulama.

b.      Jarak tempuh yang membolehkan qashar.
Untuk boleh mengqashar shalat, jarak perjalanan yang ditempuh harus mencapai jarak tertentu yang membolehkan mengqashar shalat yang empat rakaat. Namun, berdasarkan penelitian, tidak ada dalil shahih dari Nabi SAW mengenai pembatasan jarak yang memperbolehkan mengqashar shalat.[2]
Ibnu Mundzir dan ulama menyebutkan lebih dari dua puluh pendapat tentang masalah ini. Salah satu pendapat yang lebih kuat, yaitu : Ahmad, Muslim, Abu Daud dan Baihaiqi merirwayatkan dari Yahya bin Yazid katanya :
سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ عَنْ قَصْرِ الصَّلاَةِ فَقَالَ أَنْسُ؛ كَانَ النَّبِىُّ ص،م إِذَاخَرَجَ مَسِيْرَةَ ثَلاَثَتِ أَمْيَالٍ أَوْفَرَاسِخَ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ٠                            
Saya bertanya pada Anas bin Malik perihal mengqashar shalat. Ujarnya:“Rasulullah SAW shalat dua rakaat kalau sudah keluar sejauh tiga mil atau tiga fasakh”.
      Hadits ibnu Hajar mengatakan dalam kitab Al-Fath bahwa inilah hadits yang paling sah dan paling tegas menjelaskan jarak bepergian yang dibolehkan mengqashar itu.[3]
2.      Shalat Jama’
Menjama’ dua shalat ketika berpergian, pada salah satu waktu dari kedua shalat itu, menurut sebagian besar para ahli hukumnya boleh, tanpa ada perbedaan, apakah dilakukannya itu sewaktu berhenti, ataukah selagi dalam perjalanan.

عَنْ اَنَسٍ قَالَ؛ كَانَ رَسُوْلُ اللَّهِ ص٫م إِذَا رَحَلَ قَبْلَ اَنْ تَزِيْغَ الشَّمْسُ اَخَّرَ الْظُهْرَ إِلٰى وَقْتِ ألْعَصْرِ٠ثُمَّ نَزَلَ يَجْمَعُ بَيْنَهُمَا٠فَإِنْ زَاغَتْ قَبْلَ اَنْ يَرْتَحِلَ صَلَّى الْظُّهْرَ٬ ثم رَكِبَ.                                                              
“ Dari Anas ia berkata: adalah Rasulullah SAW. Apabila berpergian sebelum matahari tergelincir, maka ia mengakhirkan shalat dhuhur sampai waktu ashar, kemudian ia berhenti lalu menjama’ antara dua shalat tersebut, tetapi apabila matahari telah tergelincir sebelum ia pergi, maka ia shalat dhuhur (dahulu), kemudian naik (kendaraan).” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim).[4]
3.      Shalat dalam kendaraan
Mengerjakan shalat dalam kapal, menurut cara yang mungkin dilakukan, hukumnya sah tanpa makruh sama sekali. Diterima dari Ibnu Umar, katanya:
سُئِلَ النَّبِيُّ ص٠م عَنِ الصَّلاَةِ فِى السَّفِيْنَةِ؟ قَالَ؛صَلِّ فِيْهَا قَائِمًا إِلّا أَنْ تَخَا فَ الْغَرَقَ،،                                                                     
“ Nabi SAW ditanya perihal shalat diatas kapal, maka kata beliau: Shalatlah disana dengan berdiri, kecuali bila engkau takut tenggelam!”
(Diriwayatkan oleh Daruquthni dan Hakim menurut syarat Bukhari Muslim).[5]
B.     Shalat Qadha’
Para fuqaha sependapat bahwa orang terlupa dan tertidur, sehingga shalatnya tertinggal, diwajibkan mengqadha shalatnya. Pendapat ini berdasarkan hadits yang berbunyi :
اِذَا نَسِيَ اَحَدُكُمْ صَلَاةً اَوْنَامَ عَنْهَا فَلْيُصَلِّهَا اِذَاكَرَهَا                                 
Artinya, “ Apabila salah seorang kamu lupa akan sesuatu shalat atau tertidur, maka hendaklah dia shalat dikala dia ingat.” (HR. Nasai, Abu Daud dan Turmuzi dari Abi Qatadah)
Tapi timbul perbedaan pendapat mengenai orang yang sengaja meninggalkan shalat, apakah mereka wajib mengqadha shalat yang tertinggal atau tidak.
Pendapat pertama yang berasal dari pendapat yang berasal dari pendapat dalam kalangan mazdab Syafei, Maliki, Hambali dan Hanafi berpendapat orang yang sengaja meninggalkan shalat wajib mengqadha shalatnya.
Pendapat kedua, yang berasal dari mazhab Zahiri, Ibnu Hazmin dan salah satu riwayat dari Kasim dan Wazir dari mazhab Syi’ah, berpendapat orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja tidak wajib mengqadha shalatnyayang tertinggal dan kalau juga mereka mengqadha shalatnya, maka shalatnya dianggap tidak sah.[6]
Sebab timbulnya perbedaan pendapat dalam masalah ini ada dua hal :
a.       Apakah boleh menetapkan hukum dengan Qiyas.
b.      Apakah boleh mengqiyaskan orang yang sengaja dengan orang tidak sengaja atau lupa.
Bagi orang yang berpendapat tidak boleh menggunakan qiyas dalam menetapkan hukum Agama, atau memperbolehkan memakai qiyas, namun tidak boleh mengqiyaskan orang yang bersengaja dengan orang yang lupa, megatakan tidak wajib qadha bagi orang yang bersengaja.
Dan bagi orang yang berpendapat boleh mempergunakan qiyas dan boleh mengqiyaskan orang yang sengaja dengan lupa, mengatakan wajib qadha bagi orang yang sengaja meniggalkan sholatnya.
Sebagian ahli fiqh mengatakan bahwa,” tertib adalah sunnah hukumnya dan bukan wajib.” Seandainya ada seseorang yang lupa shalat Dhuhur dan Ashar atau tertidur daripadanya, atau memang karena sengaja meninggalkannya, kemudian pada haru yang sama dia ingin mengqadha’nya maka disunnatkan baginya untuk shalat keduanya terlebih dahulu, kemudian baru shalat magrib.
Apabila shalat magrib dilaksanakan berjamaah maka setelah itu barulah ia shalat dhuhur dan ashar secara berurutan. Karena melakukan shalat-shalat yang telah ketinggalan secara berurutan itu adalah sebuah kesunnatan. Tetapi seandainya setelah shalat magrib tersebur dia langsung shalat ashar kemudian baru shalat dhuhur juga boleh.
Menurut Abu Hanifah, dan Malikiyah, bahwa melakukan dengan tertib antara shalat-shalat yang teritnggal itu wajib, selama jangka waktu tidak lebih dari dari sehari semalam. Apabila dalam jangka waktu itu, dia tidak dikerjakan  dengan berurutan, maka batallah shalatnya. Namun apabila shalat-shalat yang tertinggal itu banyaknya lebih dari lima shalat, maka kewajiban untuk berurutan telah menjadi gugur.
Argumentasi yang digunakan oleh Asy Syafi’iyyah adalah, hal itu merupakan hutang yang wajib dibayar, maka baik dibayar dengan berurutan atau tidak adalah sama  saja. Karena memang tidak ada dalil yang menunjukkan atas hal itu. Adapun yang dilakukan oleh Nabi SAW dan para sahabat dengan cara berurutan, itu tidak menunjukkan sebagai dalil wajib.[7]

C.     Shalat Istisqa’
Istisqa’ menurut bahasa ialah permintaanmu untuk mendapatkan air untuk keperluan dirimu sendiri atau untuk orang lain. Sedangkan menurut syara’ adalah permintaan kepada Allah ta’ala (berupa air hujan) saat mengalami kekeringan dengan cara khusus.
Shalat Istisqa’ (minta hujan) termasuk shalat yang disyari’atkan karena adanya satu sebab, sebabnya adalah adanya kekeringan yang membahayakan kehidupan manusia, baik karena terputusnya air hujan, kekeringan pada sumur-sumur, atau kekeringan pada sungai-sungai.[8]
قاَلَ؛ خَرَجَ النَّبِيُّ صلى اللّه يَسْتَسقِي، فَتَوَجَّهَ اِلَى لْقِبْلَةِ يَدْعُوْ، وَحَوَّلَ رِدَاءَهُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ جَهَرَ فِيْهِمَا بِلْقِرَاءَةِ، وَفِي لَفْظٍ لْصَلَّ                                     

“Dari Abdillah bin ‘Asim Al mazini ia berkata : Nabi SAW keluar untuk melakukan istisqa’, maka beliau menghadap kiblat dan berdo’a, beliau memindahkan (posisi selendangnya, kemudian shalat dua rakaat, membaca dengan Jhahar/ nyaring) membaca dengan jhahar pada dua rakaat tersebut. Dan dalam suatu lafazh : “beliau mendatangi tempat shalat”. [9]
Shalat Istisqa’ adalah shalat sunnat muakkad yang sangat dianjurkan ketika hujan tidak kunjung turun sehingga mengakibatkan terjadinya bencana kekeringan yang menyengsarakan manusia dan binatang.
Sebelum melaksanakan shalat istisqa’, dianjurkan untuk mengumumkannya kepada segenap kaum muslimin, supaya mereka bersiap-siap untuk taubat dan taat memohon ampunan kepada Allah, dan meninggalkan segala kezaliman. Bersumber dari Ibnu Abas r.a. ia berkata:
 “Nabi SAW keluar rumah dengan tawadu’, pakaian yang sederhana, khusyu’, berjalan perlahan-lahan, dan berendah diri. Lalu beliau shalat dua rakaat seperti shalat ‘id. Kemudian beliau berkhutbah seperti khutbah kaliah ini.” (HR. Imam yg lima. Hadits ini shahih oleh At-Tirmidzi, Abu Awanah, dan Ibnu Hibban).
اَنَّالنَّبِي ص.م اِسْتَسقَى فَأَ شَارَ بِظَهْرِ كَفَيْهِ اِلَى السَّمَاء                    
  “Sesungguhnya Nabi SAW pernah berdo’a memohon diturunkan hujan sambil menghadapkan punggung telapak tangan beliau keatas langit” (HR. Muslim)
Tata cara shalat istisqa’ ialah, seorang imam shalat dua rakaat bersama kaum muslimin kapan saja. Pada setiap rakaat ia membaca Al-Fatihah dan satu surat Al-Quran. Pada rakaat pertama sebaiknya membaca surat Al-a’la, dan pada rakaat yang kedua membaca surat Al-ghasiyah dengan suara keras.
Sesudah atau sebelum shalat, imam menyampaikan khutbah di tengah-tengah kaum muslimin yang menerangkan kepada mereka tentang keadaan mereka yang sedang mereka alami, dan harapan-harapan mereka. Sesudah khutbah dan shalat, semua jamaah yang ada memindahkan selendang mereka. Mereka pindahkan apa yang ada disebelah kanan mereka ke sebelah kiri dan sebaliknya. Sambil menghadap kearah kiblat, mereka berdo’a kepada Allah secara bersama-sama maupun sendiri-sediri. Jika memungkinkan, tinggi-tinggi mereka tengadahkan tangan ke atas langit.
Menurut sebagian ulama ahli fiqh seperti imam Asy-Syafi’I shalat istisqa’ itu sama dengan shalat ‘id.

D.    Shalat ‘Id
Shalat “id adalah shalat sunnat muakkad yang selalu dilakukan oleh Nabi SAW.
Shalat ‘Id disyari’atkan pada tahun pertama hijrah. Annas bin Malik mengatakan: Rasulullah SAW datang ke Madinah dan pada Jahiliyah penduduk Madinah memiliki dua hari yang mereka gunakan untuk bermain-main santai.
Nabi pun bersabda:
“ Sesungguhnya ALLAH SWT telah mengganti keduanya dengan yang lebih  dari pada keduanya, yaitu hari raya ‘Idul Fitri dan hari Raya ‘Idul Adha.”
Waktu shalat ‘id dimulai ketika matahari sudah mulai naik seukuran tombak atau dua tombak dan berakhir sebelum tergelincirnya matahari. Hal ini merujuk pada penuturan Yazid bin Khumair: Abdullah bin Busr r.a keluar bersama orang-orang pada hari raya idul fitri atau adha, lalu ia mengingkari kelambanan imam, seraya berkata, “Sesungguhnya waktu bersama Nabi SAW kami telah menyelesaikan waktu ini dan itu ketika shalat sunnah telah diperbolehkan.” Dengan bahasa lain, waktu shalat ‘id dimulai sejak waktu diperbolehkannya melakukan shalat sunnah.
Tempat pelaksanaan shalat id disyari’atkan di tanah lapang, kecuali jika ada udzur atau halangan, seperti hujan lebat.
أَنَّهُمْ أَصَابَهُمْ مَطَرٌ فٖى يَوْمِ عِيْدٍ فَصَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ الْعِيْدِفِى الْمَسْجِدِ٠  
“Dari Abu Huraira, bahwa pada suatu hari raya, turun hujan, maka Nabi pun shalat dengan sahabat-sahabatnya di Mesjid.” (HR. Abu Daud, Ibnu Madjah dan Hakim).[10]
Mengenai jumlah takbir dalam shalat id,  ada beberapa versi, diantaranya ahli fiqh mengatakan bahwa takbir sebelum membaca surah Al-Fatihah pada rakaat pertama sebanyak tujuh kali sudah termasuk takbiratul ihram, dan dirakaat kedua lima kali setelah takbir berdiri, merujuk pada laporan Aisyah: “ Sesungguhnya Rasulullah SAW bertakbir tujuh kali pada rakaat pertama dalam kedua shalat id, dan lima kali dalam rakaat selanjutnya diluar dua takbir ruku’. ” (HR. Abu Daud, Ibnu Madjah Alhakim, Albaihaqi)











BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan.
Shalat  merupakan ibadah yang wajib dilaksanakan, dimanapun, kapanpun dan dalam kondisi bagaimanapun. Seperti shalat dalam perjalanan bisa dilakukan dengan cara menjama’, mengqashar bahkan dapat pula dilakukan diatas kendaraan. Orang yang lupa mengerajakan shalat bisa mengqadha shalatnya.
Kemudian ada waktu-waktu shalat yang khusus, seperti shalat Idain, yaitu shalat dua hari raya, idul fitri dan idul adha. Shalat istisqa’ yang dilakakan dalam rangka meminta hujan kepada Allah SWT.
B.     Kritik dan Saran
Demikianlah makalah ini kami tulis, namun kami menyadari masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam makalah ini, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi sempurnanya makalah ini untuk kedepannya.








Penulis






[1] Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam, Prof. Dr. Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah ,   ( Jakarta, AMZAH, 2010), hal. 288.
[2] Ibid, hal. 288
[3] Sayyid Sabiq, fiqh Sunnah jilid 2, Bandung, PT. Al-ma’arif, 1996, hal. 214
[4] Mu’amal Hamidi, Terjemahan Nailul Authar, Surabaya, PT Bina Ilmu, 1993, hal. 893
[5] Sabiq, Loc. cit, hal. 229
[6] Prof. H. M. Asywadie Syukur, L.C, Perbandingan Mazhab, Surabaya, PT, Bina Ilmu, 1994, hal. 246-247
[7] Syaikh Hasan Ayyub,(Penerjemah: Abdul Rosyad Siddiq) Fiqih Ibadah, Kairo,Pustaka Alkautsar. Hal 139- 140
[8] Syeaikh Abdullah Abdurrahman Alu Bassam, Syarah Hadits Hukum Bukhari Muslim, Surabaya, Pustaka Assunnah, 2009, hal. 393
[9] Ibid, hal. 394
[10] Sabiq, op.cit, hal. 281.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tasawuf Amali

BAB I PENDAHULUAN Hasrat untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah tujuan utama dari sufi dan merupakan keinginan yang manusiawi. Sejalan dengan semakin berkembangnya tasawuf, maka orang yang ingin mendekatkan diri kepada Tuhan smakin banyak pula. Tinjauan analitis terhadap tasawuf menunjukkan bahwa para sufi dengan berbagai aliran yang dianutnya memiliki konsepsi tentang jalan ( thariqat ) menuju Allah. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniyah ( riyadhah ), lalu secara bertahap menempuh fase yang dikenal dengan maqam (tingkatan) dan hal (keadaan). Tingkat pengenalan ma’rifat adalah jargon yang pada umumnya dikejar oleh para sufi. Lingkup perjalanan para sufi untuk memperoleh ma’rifat ini sering juga disebut kerangka ‘Irfani. Rumusan masalah. a.        Apa itu Tasawuf Amali? b.       Apa saja istilah-istilah yang terdapat dalam tasawus amali? c.        Bagaimana tingkatan dan keadaan para sufi? d.       Siapa saja tokoh tasawuf amali ?

KONSTITUSI DAN TATA PERUNDANG UNDANGAN INDONESIA

KONSTITUSI DAN TATA PERUNDANG UNDANGAN INDONESIA     A.    Pengetian Konstitusi Konstitusi berasal dari bahasa Perancis “ constituer” yang akan berarti membentuk. Maksud dari istilah tersebut ialah pembentukan, penyusunan, atau pernyataan akan suatu Negara. Dalam bahasa latin, ”konstitusi” merupakan gabungan dua kata, yakni cume berarti ”bersama dengan…” dan statuere berarti ”membuat sesuatu agar berdiri atau mendirikan, menetapkan sesuatu”. Istilah konstitusi ( constitution ) dalam bahasa Inggris, memiliki makna yang lebih luas dari pada Undang-Undang Dasar, yakni konstitusi adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang secara mengikat cara-cara bagaimana suatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat. Konstitusi menurut Miriam Budiardjo adalah suatu piagam yang menyatakan cita-cita bangsa dan merupakan dasar organisasi kenegaraan suatu bangsa. Sedangkan Undang- Undang dasar merupakan bagian tertulis dalam konstit

Hadits Maudhu'

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Faktor yang paling mendasar dari penyebab pentingnya penelitian terhadap riwayat adalah timulnya pemalsuan hadits dan banyaknya bermunculan hadits-hadits palsu. Kemunculan riwayat hadits palsu yang tersebar di masyarakat, menyulitkan masyarakat Islam yang ingin mengetahui riwayat yang dapat dipertanggungjawabkan. Hadits-hadits maudhu’ yang beredar di masyarakat hampir menjadi tradisi, anutan dan pedoman beragama, bahkan dianggap sebagai hadits yang berasal dari Nabi. Kondisi demikian dapat mengacaukan, oleh karena itu penelitian terhadap hadits-hadits maudhu’ sebagai upaya untuk meluruskan pemahaman masyarakat merupakan suatu misi yang sangat penting untuk dilakukan. 2.       Rumusan Masalah. Dalam makalah ini, kami akan mencoba membahas beberapa poin tentang hadits maudhu’, yaitu: a.        Pengertian Hadits   Maudhu b.       Sejarah Berkembangnya Hadits Maudhu c.        Latar Belakang Munculnya Hadits Maudhu d.